Sebagaimana diketahui, bahwa RKUHP telah disahkan dalam rapat paripurna DPR RI, Selasa (6/12/2022). Tidak sedikit pihak yang menyoroti.
Salah satunya pada Bab XV yang mengatur soal Tindak pidana Kesusilaan. Dalam bab yang dimaksud ternyata tidak semua pihak boleh menunjukkan alat pencegah kehamilan (kontrasepsi) pada anak. Jika nekat melanggar dapat dipidana.
Pasal 408 menyebutkan bahwa setiap orang yang secara terang-terangan mempertunjukan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan pada anak dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I (Rp 1.000.000).
BACA JUGA: Membaca Kondisi Kepemimpinan Perempuan di Indonesia Melalui Susi Pudjiastuti
Memang di sana terdapat pengecualian tindakan tersebut tidak dapat dikenakan pidana denda.
Bahkan dijelaskan juga pada Pasal 410 Ayat (1) bahwa tidak dapat dikenai pidana jika yang menunjukkan alat kontrasepsi pada anak adalah petugas yang berwenang dengan tujuan menyampaikan program keluarga berencana, pencegahan penyakit menular seksual, atau kepentingan pendidikan dan penyuluhan kesehatan.
Terakhir, dalam Pasal 410 Ayat (3) diungkapkan bahwa petugas yang berwenang itu termasuk relawan yang kompeten yang ditugaskan oleh pejabat berwenang.
Dalam hal ini, tak dapat dipidana jika penunjukan alat kontrasepsi itu untuk kepentingan pengetahuan atau pendidikan.
Jika selama ini banyak pihak, misalnya aktivis anak, remaja sekolah yang tergabung dalam KIE (Komunikasi Informasi dan Edukasi) Kesehatan Reproduksi telah sekian lama turut andil melakukan pendidikan pencegahan HIV-AIDS yang didalamnya memperkenalkan alat pencegah kehamilan.
Patut diduga, tampaknya pembuat KUHP ini tidak menyadari jika capaian kesehatan seksual dan reproduksi di Indonesia yang saat ini cukup rendah.
Berdasarkan data dari Survei Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2017 menunjukkan rendahnya angka anak-remaja laki-laki (11 persen) dan perempuan (12 persen) yang telah menerima promosi kesehatan mengenai Keluarga Berencana dan Pengendalian Kehamilan pada jenjang Sekolah Menengah Pertama.
Sedangkan menurut badan PBB untuk dana anak, UNICEF (United Nations Children's Fund) pada 2020 mencatat tingginya angka remaja perempuan di Indonesia (32 persen) yang belum mampu mengakses alat kontrasepsi modern.
Apa akibatnya? Kondisi dan situasi tersebut turut berkontribusi pada tingginya angka kehamilan remaja di Indonesia.
Hemat penulis, hadirnya pasal di atas sungguh terkesan sentralistik atau dalam istilah lain "menutup" keterlibatan dari pihak lain.
Karena, hanya petugas berwenang yang boleh memberikan pendidikan alat pencegah kehamilan. Lalu siapakah petugas berwenang tersebut?
Bagaimana jika mereka belum memiliki sudut pandang yang komprehensif terhadap isu kesehatan reproduksi? Tentu akan menjadi blunder dan persoalan baru di kemudian hari.
Jika dipaksakan, penulis agak hawatir hal ini rentan disalah tafsirkan. Terutama, bagi pihak-pihak tertentu yang tidak menyetujui edukasi kesehatan reproduksi, dapat dijadikan alat penolakan, atau bahkan dengan mudah melaporkannya pada pihak berwenang.
Perlu diketahui, bahwa saat ini makin maraknya jumlah kasus Kehamilan Tidak Diinginkan (unwanted pregnancy) salah satunya karena kesalahpahaman informasi alat kontrasepsi.
Alat pencegah kehamilan sering kali dituduh sebagai biang kerok maraknya hubungan intim sebelum nikah. Padahal, ada atau tidak ada kontrasepsi hubungan intim akan selalu terjadi.
Perlu diketahui bahwa kontrasepsi bisa dijadikan sebagai alat perlindungan dari berbagai risiko seksual. Misalnya Infeksi Menular Seksual.
Lalu dengan cara bagaimana para aktivis kesehatan reproduksi terlibat mengedukasi warga masyarakat jika tidak boleh mempertunjukkannya?
Oleh karenanya, tidak berlebihan jika disebut para pembuat KUHP belum melakukan analisis secara mendalam ketika menyusun bab kesusilaan.
Ini berarti KUHP yang baru saja disahkan akan memakan korban jika tidak ditinjau kembali sebelum benar-benar diimplementasikan.