Kemajuan zaman dan peradaban yang dibangun oleh manusia benar-benar mampu mengubah berbagai hal. Gender yang selama berabad-abad menjadi pembeda dalam penentuan privilege sebagai manusia, kini tak lagi menjadi sebuah penghalang bagi kaum wanita yang kerap termarjinalkan keberadaannya.
Namun sayangnya, gerusan arus penyetaraan gender tak serta merta mampu sepenuhnya mengubah paradigma yang dimiliki oleh sebagian masyarakat. Di berbagai daerah, klasifikasi berdasarkan jenis kelamin masih tampak, pun menjadi sebuah penghalang besar bagi wanita-wanita hebat yang terlahir dengan pemikiran, pun kemampuan sebagai seorang petarung.
Memang, kita tak bisa memungkiri bahwa para wanita petarung dapat kita temukan di setiap sudut lingkungan yang kita tempati. Namun sayangnya, pertarungan keras yang mereka lakukan kerap kali harus luluh, tergerus dengan adanya gelombang tradisi yang mengatasnamakan kodrat wanita.
Banyak wanita yang telah bersusah payah berjuang, meniti karier cemerlang dalam berbagai bidang, harus rela melepaskan segala pencapaiannya karena benturan pandangan tradisional.
Pertarungan keras yang telah mereka jalani, harus muspro, menjadi sia-sia karena paradigma masyarakat sekitar yang masih saja beranggapan kasta wanita berada di bawah para lelaki, pun demikian dengan jangkauan karier yang mereka miliki.
Tak ayal, hal seperti ini membuat kaum hawa seolah berada dalam persimpangan dua dunia. Di sisi modernitas, mereka bebas-bebas saja untuk berekspresi, berkarya dan meraih apapun yang mereka inginkan, namun di sisi sebaliknya, mereka harus rela untuk selalu hidup di bawah bayang-bayang paradigma tradisional masyarakat luas yang menganggap keberadaan mereka tak akan jauh-jauh dari dapur ataupun sumur.
Sebuah pandangan yang tentu saja menyakitkan bagi para wanita yang menjadi petarung liat, pun aktor utama dalam pusaran kehidupan ekonomi yang mereka jalani. Sistem patriarki yang belum sepenuhnya bisa dilepaskan oleh masyarakat luas di negeri ini pada khususnya, menjadikan para wanita yang memiliki karier nyaris sempurna dalam kehidupan masing-masing, harus kembali menjadi sosok yang terkekang ketika mereka memutuskan untuk menikah atau menjalani kehidupan rumah tangga.
Para wanita yang dulunya adalah raja dalam kehidupan masing-masing, mau tak mau harus kembali menjalani peran sebagai "pendukung" dalam kehidupan berkeluarga, dan kembali terkekang dengan beragam larangan yang muncul karena sudut pandang kolot yang mengatasnamakan tradisi.
Ibarat kata, seekor burung yang semula terbang bebas, tak akan pernah bisa merasa nyaman sepenuhnya meskipun segala kebutuhannya dipenuhi oleh sang pemilik.