Sejak zaman dahulu, Indonesia dikenal sebagai negara agraris, yaitu negara yang kaya dengan sektor pertaniannya. Bahkan keistimewaan Indonesia ini tertuang dalam penggalan lirik lagu Kolam Susu karya Koes Plus yang bunyinya, “Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman.”
Saking suburnya tanah di Indonesia, “tongkat” saja bisa dijadikan sebagai tanaman. Dalam hal ini adalah batang singkong yang langsung ditanam dalam tanah tanpa akar. Meskipun ditanam langsung tanpa akar, namun batang singkong dapat menjelma menjadi tanaman yang berbuah banyak dan semua bagiannya dapat dimanfaatkan.
Sebagai negara agraris, mayoritas penduduk Indonesia menjadikan nasi dari beras sebagai makanan pokoknya. Hal tersebut sesuai dengan fakta di lapangan bahwa mayoritas penduduk Indonesia berprofesi sebagai petani, yaitu sekitar 29,59%, sementara posisi kedua ada di sektor perdagangan sebesar 19,20%.
Hal tersebut juga menunjukkan bahwa penduduk kita sangat ketergantungan dengan beras. Tanpa adanya beras, tentunya masyarakat akan kebingungan dan kelabakan karena tidak ada makanan pokok yang dapat dikonsumsi. Meskipun ada pangan alternatif lainnya, namun masyarakat kita masih belum terbiasa untuk mengonsumsi makanan pokok selain beras.
Tapi fakta di lapangan membuktikan bahwa lahan pertanian di Indonesia dari tahun ke tahunnya mengalami penurunan yang sangat signifikan. Lahan-lahan tersebut dialihfungsikan untuk berbagai hal seperti pembangunan perumahan, perusahaan, hingga kedai-kedai makanan. Tercatat, di tahun 2019 Indonesia memiliki luas baku sawah sebesar 7,46 juta hektar, menurun sekitar 300 ribu hektar lebih sejak tahun 2013 berdasarkan data yang dikeluarkan oleh BPN (Badan Pertanahan Nasional).
Di tahun 2022, Indonesia mendapatkan kabar baik bahwa luas panen gabah diperkirakan dapat meningkat menjadi 10,61 juta hektar. Meskipun begitu, di tahun yang sama, Indonesia malah mengimpor beras sebanyak 429 ribu ton yang meningkat 5% dari tahun sebelumnya. Sementara itu, di tahun 2023 ini, Indonesia telah mengimpor beras sebanyak 1,17 ton pada periode Januari-Juli dengan total nilai impor Rp9,6 Triliun, sebuah angka yang fantastis.
Melihat data dan fakta di lapangan tentunya sangat membuat miris. Dikenal sebagai negara agraris, namun Indonesia gencar mengimpor beras secara besar-besaran ke negara tetangga seperti Vietnam dan Thailand. Sebuah paradoks yang tentunya mencekik para petani di Indonesia, terlebih mereka yang bertani di daerah-daerah pelosok dengan harga yang tidak menentu.
Peran pemerintah di sini tentunya sangat dibutuhkan untuk mensejahterakan kehidupan para petani. Harga yang tidak menentu dan permainan para tengkulak tentunya menjadi ancaman tersendiri bagi para petani padi. Percuma saja memproduksi secara besar-besaran jika petani kecil tidak mendapatkan keuntungan.
Pemerintah perlu memberikan solusi yang terbaik bagi para petani yang di antaranya yaitu dengan cara menstabilkan harga gabah dan memberantas para tengkulak. Manfaatkan produksi di dalam negeri dan tekan impor beras dengan memaksimalkan lahan pertanian yang ada. Selain itu, buat kebijakan agar tidak ada lagi oknum-oknum yang mengalihfungsikan lahan pertanian untuk dijadikan perumahan dan sebagainya.
Jika pemerintah hanya tinggal diam dan tidak bertindak, maka bagaimana nasib petani di Indonesia ke depannya?