Lanskap digital kontemporer telah memberikan gambaran bahwa penciptaan pesan, agenda setting dan distribusi informasi tidak terus-menerus berjalan secara organik. Informasi lahir dan tersebar melalui mediasi berbagai macam platform yang masing-masing memiliki pola algoritma berbeda-beda. Yang cukup menantang adalah, keseluruhan algoritma platform tersebut model operasinya berubah-ubah dan siklusnya diatur secara non-organik, di luar kendali otoritas resmi manapun, kecuali platform itu sendiri.
Sejak pertama kali melakukan pencarian informasi, seseorang akan menggunakan mesin pencari. Hasil-hasil informasi yang disajikan adalah proses kurasi algoritmis yang modelnya ditentukan oleh berbagai macam pertimbangan teknis yang kebanyakan bersifat komersial. Yang paling mendasar adalah, mesin pencari akan mencarikan berita-berita yang relevan dengan konteks demografis, setelah itu terpenuhi maka mesin informasi bisa mengarahkan pada relevansi psikografis seseorang berdasarkan pada berbagai macam data yang dibaca dari kegiatan-kegiatan online.
Informasi di lini masa media sosial, kawan bicara di komunitas online adalah antarmuka utama yang cenderung berisi informasi dari orang-orang atau sumber yang memiliki preferensi sama terhadap sebuah isu atau peristiwa politik tertentu. Secara rutin platform-platform digital akan menggelontorkan berita yang relevan, cerita yang kita sukai, gambar-gambar yang membuat kita bahagia dan mempertemukan pengguna internet dengan teman-teman bicara satu ideologi yang menyenangkan.
Ketika secara politik seseorang berpihak pada satu aliran ideologi dan aktif di berbagai macam platform digital, platform-platform digital akan mencarikan kawan-kawan se-ideologis, lengkap dengan diskusi saling dukung yang membesarkan hati serta persetujuan terus-menerus terhadap pendapat yang kita senangi. Ketika seseorang mencari tahu tentang berita-berita tentang aliran politik atau ideologi tertentu, platform digital akan cenderung melakukan kurasi, memilihkan berita-berita yang memuaskan kita, dan menyingkirkan berita-berita yang tidak kita sukai atau tidak cocok dengan kita.
Secara umum, dikenal dua konsep yang menjelaskan phenomena kurasi algoritma yang terjadi di lanskap digital antara lain Filter Bubble dan Echo Chamber. Kedua konsep kurasi informasi ini memiliki penjelasan yang hampir sama, namun berbeda di proses awal dan tingkat keterlibatan algoritma. Yang pertama, Filter Bubble menandakan kurasi implisit berupa dominannya pengaruh algoritma dan platform untuk memilihkan informasi yang cocok untuk kita.
Sementara yang kedua, Echo Chamber, adalah kurasi eksplisit, salah satunya adalah proses kita memilih kawan, memberikan likes dan mengikuti feed atau sebuah akun. Dengan berbagai macam jejak digital tersebut, sebuah platform informasi akan secara langsung mengarahkan kita pada pemagaran informasi pada seseorang, menyaring dan mempersilahkan salurannya untuk menggelontorkan informasi-informasi yang sesuai dengan preferensi pengguna.
Filter Bubble dan jebakan-jebakan informasi
Eli Pariser (2011) dalam sebuah buku berjudul "The Filter Bubble: How the New Personalized Web Is Changing What We Read and How We Think" memaparkan bagaimana filter bubble berproses. Menurut Pariser, platform apapun atau media sosial apa yang digunakan, filter bubble selalu didesain untuk mendorong personalisasi.
Dalam persoalan penyebaran informasi sosial politik filter bubble bekerja seperti autopropaganda yang tidak terlihat, bahkan filter bubble dapat mengindoktrinasi penggunanya dengan ide-ide pengguna sosial media lain, terutama yang satu aliran atau satu ideologi. Filter bubble bisa memperkuat hasrat pengunannya akan suatu hal yang ingin mereka ketahui, tanpa disadari pengguna terjebak dalam wilayah gelap yang tidak diketahui.
Filter Bubble menyediakan ruang berdasarkan hasrat atau keinginan pengguna sosial media untuk mendapatkan informasi yang mereka inginkan. Sebagai contoh jika pengguna sosial media tersebut menyukai informasi tentang penolakan terhadap proyek pemerintah, maka seluruh informasi tentang penolakan proyek akan cenderung lebih banyak muncul dari seluruh di lini masa sosial media atau search engine yang mereka gunakan. Jadi seseorang yang mencari informasi tentang penolakan sebuah proyek pemerintah maka filter bubble akan tidak banyak menyalurkan informasi tentang dukungan terhadap proyek pemerintah.
Platform media sosial menggunakan algoritma untuk memilih dan menyajikan konten kepada pengguna berdasarkan preferensi dan perilaku mereka. Algoritma ini bisa membangun filter dengan membatasi paparan pengguna pada konten yang sejalan dengan pandangan mereka. Salah satu alasan media sosial melakukan filter terhadap konten-konten yang akan diberikan kepada pengguna adalah alasan personalisasi.
Pengguna media sosial secara otomatis akan menikmati fitur-fitur personalisasi, masing-masing bisa melakukan personalisasi secara mudah. Salah satu cara sederhana dalam persoalan personalisasi adalah tersedianya berbagai macam alternatif pilihan untuk mengikuti sebuah akun atau memilih preferensi informasi dan konten.
Di kondisi ini, pengguna internet akan berada dalam bubble informasi, yang melindungi, membatasi atau menyaring informasi-informasi yang tidak relevan dari luar bubble. Akibat dari filter bubble bagi pengguna adalah, berkurangnya keragaman informasi. Seseorang yang mengakses berbagai informasi cenderung mendapatkan berita-berita sejenis yang cenderung disukai pengguna, bukan hanya karena relevansi konten karena kesukaan thema, tapi juga karena arah dan isi konten cenderung satu sikap, satu kesukaan dan satu sudut pandang. Pengguna sangat jarang menerima informasi-informasi yang berbeda sudut pandang, karena personalisasi yang dilakukan oleh algoritma memang dirancang untuk seakurat mungkin untuk mendatangkan pesan-pesan yang cocok dan disukai oleh pengguna.
Gema persetujuan di Echo Chamber
Jika Filter Bubble adalah kecenderungan kurasi implisit karena algoritma yang terjadi di sosial media atau platform informasi, maka Echo chamber cenderung berproses dalam tindakan-tindakan yang lebih eksplisit. Proses Echo chamber terjadi karena pengguna aktif memilih sumber-sumber berita yang disukai, mengikuti dengan sadar akun-akun yang selalu memberikan informasi yang menyenangkan, memberikan tanda likes pada konten-konten pilihan sampai pada aktif melakukan pencarian berita satu sudut pandang di mesin pencari.
Selain tindakan-tindakan subyektif dari pengguna internet, Echo Chamber bekerja membantu mengumpulkan data pengguna menurut keseragaman dan kesukaan pada bidang tertentu, aktivitas online, jaringan sosial dan karakter-karakter sejenis. Data-data ini dikumpulkan mesin algoritma melalui respon dan perlilaku online para pengguna sosial media termasuk cara memberikan komentar, memberikan persetujuan atau likes, membagikan konten-konten sampai memberikan berbagai informasi secara sukarela.
Proses Echo Chamber ini menciptakan lingkungan yang memperkuat dan memperdalam keyakinan serta pandangan pengguna. Dalam lingkungan yang terjaga ini, informasi dan konten yang mendukung pandangan seseorang akan diprioritaskan bahkan dipromosikan berkali-kali dan sebaliknya konten dan informasi yang berasal dari sudut pandang yang bertentangan atau menantang tidak akan ditampilkan atau diabaikan.
Dengan cara bekerja seperti itu, Echo Chamber akan mengumpulkan para pengguna media sosial dalam satu lingkungan yang berisikan orang-orang yang selalu menyetujui satu sama lain, saling membagi informasi yang seragam secara politik. Pengguna internet lebih merasa nyaman dalam lingkungan informasi yang tidak pernah menentang, menjadi oposan atau melawan pendapatnya.
Karena pengguna internet cenderung menerima informasi yang sepaham dan itu-itu saja, maka dalam skala besar, Echo Chamber di waktu yang sama juga menghasilkan polarisasi opini dan pemahaman yang sempit terhadap sebuah isu. Logika Echo Chamber ini, tidak hanya terjadi di media sosial tapi juga platform-platform informasi lain, terutama mesin pencari.
Tantangan management krisis Komunikasi Politik
Tahun politik selalu ditandai dengan ramainya persaingan gagasan politik. Yang menjadi menantang adalah, kondisi ruang diskusi publik kebanyakan diramaikan oleh para pendukung partai, yang masing-masing telah memiliki preferensi terhadap sebuah gagasan politik. Kalaupun bukan para pendukung partai, banyak peserta aktif yang telah memiliki loyalitas pada gagasan politik tertentu, atau pada seorang tokoh politik.
Dalam jaringan media sosial, para pegiat, pembela, pendukung dan orang-orang yang telah berada dalam satu kategori gagasan politik adalah orang-orang yang cenderung berada dalam filter bubble atau berada di dalam gelembung pelindung informasi yang terus-menerus melindungi seseorang dari paparan informasi yang tidak sesuai atau tidak se-ideologi.
Sementara dalam platform lain, bahkan secara offline, para loyalis dan pendukung gagasan tertentu ini, hampir pasti akan berkawan dengan orang-orang satu lingkaran yang cenderung mengiyakan gagasannya, baik dalam group percapakan atau pergaulan offline. Sehingga, apa yang mereka sampaikan akan bergema sama, karena berada dalam satu ruang Echo Chamber.
Bayangkan jika seorang politisi atau partai menghadapi krisis komunikasi politik, dia akan menghadapi publik yang sudah berada dalam kotak-kotak keseragaman informasi. Publik dalam kotak-kotak keseregaman informasi inilah yang tercipta dari filter bubble dan echo chamber di berbagai macam platform informasi dan interaksi sosial.
Phenomena Filter Bubble dan Echo Chamber ini bisa menutup kemungkinan-kemungkinan proses penyeimbangan informasi politik. Yang terjadi justru potensi besar kristalitasi pemikiran politik, bisa terhadap sebuah ideologi atau segampang pada sebuah peristiwa politik.
Dalam manajemen krisis, upaya untuk melakukan penyeimbangan informasi ini menjadi sangat krusial. Ini artinya, harus ada proses untuk menetralkan informasi atau mempengaruhi publik yang memiliki impresi negatif terhadap peristiwa politik. Proses ini menyaratkan informasi-informasi yang dikirim harus masuk dalam channel atau lini masa publik yang memiliki impresi negatif.
Sementara, logika Filter Bubble dan Echo Chamber justru cenderung memberikan penghalang bagi masuknya informasi-informasi alternatif yang bisa memberikan keseimbangan, atau menetralkan. Potensi yang lebih parah adalah, jika volume informasi yang diterima oleh publik yang memiliki impresi negatif, justru lebih banyak dari sisi negatif, karena seluruh perkawanan dan pengumpan informasi dalam filter bubble telah berada dalam posisi yang negatif.
Dalam kondisi seperti ini, seorang pengelola komunikasi politik harus mempertimbangkan langkah-langkah yang tidak biasa dalam krisis komunikasi politik. Beberapa diantaranya adalah membuka kanal-kanal multi-platform yang kemungkinan dipakai oleh semua orang termasuk publik yang memiliki impresi negatif terhadap sebuah peristiwa politik. Kanal-kanal ini bisa diartikan sebagai jenis-jenis media, sampai perantara komunikasi seperti para influencer yang berada dalam posisi netral.
Upaya yang lain adalah, melakukan netralisasi di tingkat pesan. Perancangan pesan tidak bisa berada dalam posisi dikotomis, dan langsung berhadap-hadapan dengan pesan yang berlawanan. Penjelasan-penjelasan pun harus dilakukan secara bertahap dalam beberapa seri informasi dalam pemilihan kalimat yang netral.
Model ini perlu dilakukan karena algoritma juga dirancang untuk menilai penyebaran berita yang relevan dari diksi-diksi atau keyword yang digunakan sebuah tulisan. Terakhir, dalam peta informasi yang dipenuhi oleh penghambat filter bubble dan echo chamber, pengembangan informasi yang inklusif perlu terus menerus dilakukan, baik dari sisi pemilihan narasumber atau sudut pandang penulisan informasi.