Polarisasi Politik: Ancaman Harmoni Sosial dan Masa Depan Demokrasi

Hernawan | Madi Elong
Polarisasi Politik: Ancaman Harmoni Sosial dan Masa Depan Demokrasi
Sejumlah Alat Peraga Kampanye (APK) terpasang di Jalan Dr. Saharjo, Tebet, Jakarta, Selasa (19/12/2023). [Suara.com/Alfian Winanto]

Dinamika perdebatan antara Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden dalam konteks saat ini menunjukkan potensi munculnya polarisasi yang mengkhawatirkan di tengah masyarakat, mirip dengan apa yang terjadi pada Pemilihan Presiden 2019. Perpecahan menjadi dua kubu yang saling berlawanan telah menciptakan kekhawatiran akan dampaknya.

Dengan kemajuan teknologi canggih dan masyarakat yang modern, polarisasi politik semakin meningkat dalam struktur masyarakat, mencapai puncaknya dalam beberapa tahun terakhir. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan serius tentang stabilitas dan kesejahteraan masyarakat demokratis, seiring dengan melebarnya jurang ideologis antara anggota masyarakat dan berbagai kelompok.

Walaupun demokrasi yang berhasil selalu melibatkan keragaman pendapat, tingkat polarisasi politik saat ini menimbulkan tantangan yang signifikan, memerlukan pertimbangan dan introspeksi yang hati-hati untuk menjaga keseimbangan.

Ketiadaan Kesepakatan

Secara esensial, polarisasi merujuk pada perbedaan ideologi yang semakin melebar di antara individu atau kelompok yang mengadopsi pandangan politik yang berbeda. Meskipun polarisasi politik bukan fenomena baru, ekspresi terkini dari polarisasi ini ditandai oleh kurangnya kesepakatan yang jelas.

Perbedaan politik konvensional telah berkembang menjadi perpecahan ideologis yang melibatkan seluruh spektrum masyarakat. Baik dalam perdebatan mengenai isu-isu seperti imigrasi, perubahan iklim, maupun penanggulangan pandemi global, individu seringkali mendapati diri mereka dengan tegas mempertahankan sikap yang mencerminkan keyakinan politik masing-masing.

Sebagai contoh, penelitian dari University of Missouri, Columbia pada tahun 2013 mengeksplorasi dampak menonton debat kampanye presiden terhadap polarisasi politik. Studi tersebut menyoroti efek konsisten dari debat dalam pemilihan umum presiden pada tahun 2000, 2004, 2008, dan 2012 yang meningkatkan polarisasi politik.

Lebih lanjut, penelitian pada tahun 2021 dari institusi yang sama menyelidiki nilai potensial polarisasi dalam debat partai politik, menghasilkan penurunan kedekatan yang dirasakan dengan sesama anggota partai politik, dengan adanya perasaan jarak sosial yang lebih besar dan peningkatan penilaian terhadap niat buruk.

Penelitian ini menggambarkan bagaimana polarisasi politik tidak hanya memengaruhi perdebatan tingkat tinggi, tetapi juga meresap ke dalam relasi interpersonal di antara anggota masyarakat. Dengan pemahaman lebih mendalam tentang sifat dan dampak polarisasi, masyarakat dapat lebih baik memahami kebutuhan untuk membangun jembatan komunikasi dan mencari titik temu yang konstruktif dalam rangka menciptakan lingkungan yang lebih harmonis.

Pengaruh Media

Pengaruh media, terutama melalui platform media sosial dan berita berkelanjutan, menjadi pemicu utama polarisasi politik. Ruang gema ini memicu terpaparnya individu pada materi yang memverifikasi keyakinan yang sudah ada, menyebabkan ketidakmampuan mendengarkan sudut pandang yang berbeda.

Dampaknya, masyarakat semakin terpecah, kepercayaan pada lembaga-lembaga demokratis berkurang, kemanjuran politik menurun, dan terjadi kebuntuan legislatif. Politisi populis yang memanfaatkan perpecahan dapat mengambil keuntungan dari polarisasi, merusak prinsip dasar pemerintahan demokratis dengan menciptakan lingkungan yang mendukung provokasi dan memperdalam perpecahan sosial.

Melampaui Politik

Polarisasi tidak hanya mempengaruhi politik, tapi juga menghancurkan hubungan pribadi, komunitas, dan struktur sosial. Komunitas terpecah, persahabatan memudar, dan keluarga terpisah karena intoleransi terhadap pandangan berbeda. Budaya pembatalan daring semakin memperparah perpecahan, menghambat dialog dan menciptakan ketakutan yang membatasi keragaman pandangan.

Dampak ekonomi polarisasi terasa serius. Kerusuhan politik menimbulkan ketidakpastian bagi bisnis dan investor, menyulitkan perencanaan jangka panjang. Kebuntuan legislatif menghambat pengesahan kebijakan ekonomi dan membatasi tanggapan pemerintah terhadap masalah mendesak seperti pengangguran, ketidaksetaraan pendapatan, dan disrupsi teknologi.

Polarisasi juga memengaruhi dunia bisnis melalui boikot politik dan aktivisme konsumen, membuat perusahaan kesulitan menavigasi prinsip-prinsip mereka dengan berbagai pandangan, memperdalam kesenjangan sosial, dan menghambat pencapaian tujuan ekonomi bersama.

Strategi yang Diperlukan

Polarisasi politik memerlukan keterlibatan aktif dari para pembuat kebijakan, media, komunitas, dan masyarakat melalui strategi-strategi seperti pendidikan, peningkatan integritas media, dan kolaborasi bipartisan. Pentingnya menghilangkan pola pikir 'pemenang mengambil semua' dan individu mencari sudut pandang yang berbeda menjadi kunci dalam mengatasi polarisasi.

Hal ini mendesak untuk membangun kembali jembatan komunikasi dan rasa kemanusiaan bersama melalui organisasi masyarakat sipil, lembaga keagamaan, dan kelompok-kelompok masyarakat. Polaritas politik, sebagai ancaman serius bagi negara demokratis, membutuhkan perhatian dan upaya terkoordinasi dari seluruh masyarakat untuk mengembalikan nilai-nilai bersama yang menjadi dasar demokrasi.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak