Militer dalam Politik: Peran yang Harus Dibatasi atau Diperkuat?

Hayuning Ratri Hapsari | Sherly Azizah
Militer dalam Politik: Peran yang Harus Dibatasi atau Diperkuat?
Ilustrasi militer (Pexels/Ferdinando Cappiello)

Sejarah mencatat, keterlibatan sisi militer dalam politik kerap membawa dua mata uang. Di satu sisi, militer sering menjadi garda terdepan saat negara menghadapi krisis, baik itu ancaman dari luar maupun instabilitas dalam negeri.

Namun, di sisi lain, terlalu dominannya peran militer dalam arena politik dapat memenuhi batasan antara kepemimpinan sipil dan kekuatan bersenjata.

Sebuah fenomena yang mengundang banyak pertanyaan: seberapa besar seharusnya keterlibatan militer dalam pengambilan keputusan politik?

Di beberapa negara, militer justru memegang kendali pemerintahan, sering kali dengan alasan menjaga stabilitas. Pengalaman sejarah Indonesia pun tak luput dari hal ini.

Era Orde Baru menjadi contoh nyata bagaimana militer mengokohkan diri dalam berbagai aspek, mulai dari legislatif hingga eksekutif.

Akibatnya, keputusan-keputusan politik sering didasarkan pada logika keamanan daripada demokrasi. Ketika kekuasaan mulai berubah, tantangan terbesarnya adalah bagaimana militer tetap setia pada perlindungan, bukan penguasa.

Namun, pertanyaannya adalah: apakah kita sudah benar-benar belajar dari masa lalu? Beberapa kasus sebaliknya menunjukkan bayang-bayang militer dalam keputusan politik masih terasa.

Ketika aparat keamanan mulai ikut serta dalam diskusi-diskusi kebijakan sipil, atau bahkan diberi peran strategis dalam urusan yang seharusnya murni di bawah kendali pemerintahan sipil, kita patut bertanya, ke mana arah demokrasi kita?

Pengalaman seperti ini menunjukkan bahwa kehadiran militer dalam politik kerap menciptakan atmosfer "tak terbantah." Ketika seorang jenderal berbicara, suara-suara lain cenderung meredup.

Di ruang-ruang publik, keputusan militer dianggap final, meski solusi tersebut tak selalu menjadi yang terbaik. Pengalaman ini menegaskan, kekuasaan tanpa kontrol justru akan menjauhkan kita dari transparansi.

Lalu, bagaimana seharusnya kebijakan militer dalam situasi darurat politik? Pengalaman di beberapa negara menunjukkan bahwa peran militer bisa efektif jika ditempatkan dalam kerangka hukum yang jelas dan terbatas.

Militer bertindak hanya dalam situasi yang benar-benar membutuhkan intervensi, seperti menghadapi ancaman nasional yang nyata. Namun, tanpa kerangka hukum yang kuat, peran ini bisa berkembang menjadi dominasi.

Ketika militer mulai terlibat dalam urusan sipil yang bersifat kompleks, seperti ekonomi atau pendidikan, risiko konflik menjadi meningkat.

Salah satu contoh nyata adalah penanganan proyek infrastruktur strategis yang sering kali dipimpin oleh kalangan militer. Apakah ini menunjukkan kepercayaan tinggi pada kemampuan manajerial mereka, atau justru minimnya kepercayaan pada institusi sipil?

Batasan antara sipil dan militer harus tetap tegas. Demokrasi yang sehat memerlukan militer yang kuat, tetapi tunduk pada kontrol sipil.

Jika tidak, kekuasaan akan menggembar-gemborkan segelintir orang yang mungkin mengutamakan keamanan di atas kebebasan. Dalam menjadikan peran kita sebagai masyarakat, mengawal agar batas ini tidak kabur.

Demokrasi bukan sekadar soal siapa yang memimpin, tetapi bagaimana kekuasaan itu dipertanggungjawabkan. Militer memang diperlukan untuk menjaga stabilitas, namun stabilitas tanpa demokrasi hanya akan menyebabkan kediktatoran yang berselubung.

Jadi, pertanyaannya bukan lagi “apakah militer boleh terlibat,” tetapi “sejauh mana keterlibatan itu harus dibatasi?”

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak