Kualifikasi Tinggi Tak Relevan, Diskriminasi Terselubung dalam Dunia Kerja

Hayuning Ratri Hapsari | Christina Natalia Setyawati
Kualifikasi Tinggi Tak Relevan, Diskriminasi Terselubung dalam Dunia Kerja
Ilustrasi pelamar kerja (Pixabay/jaydeep_)

Dalam persaingan dunia kerja yang semakin ketat, banyak perusahaan menetapkan standar kualifikasi yang tinggi untuk calon karyawannya.

Namun, tak jarang kita menemukan kualifikasi yang terkesan berlebihan dan tidak relevan dengan pekerjaan yang ditawarkan. Fenomena ini semakin diperparah dengan adanya tuntutan fisik dan penampilan yang ideal, terutama pada industri jasa.

Ambil contoh kasus lowongan pekerjaan untuk posisi pelayan di restoran. Selain kualifikasi akademik dan pengalaman kerja, tidak sedikit perusahaan yang menambahkan persyaratan fisik seperti tinggi badan minimal, berat badan ideal, dan wajah yang bebas dari noda.

Padahal, kompetensi utama seorang pelayan adalah kemampuan berkomunikasi, melayani pelanggan dengan baik, dan memiliki pengetahuan tentang menu makanan.

Standar kecantikan yang tinggi ini seolah menjadi prasyarat mutlak untuk mendapatkan pekerjaan, bahkan untuk posisi yang tidak berhubungan langsung dengan penampilan fisik.

Padahal, kecantikan itu relatif dan tidak bisa dijadikan tolok ukur kemampuan seseorang. Lebih jauh lagi, penelitian menunjukkan bahwa penampilan fisik yang menarik tidak selalu berkorelasi positif dengan kinerja kerja. Ini adalah masalah diskriminasi.

Diskriminasi adalah perlakuan yang tidak adil atau berbeda terhadap seseorang atau kelompok tertentu berdasarkan karakteristik pribadi seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, usia, disabilitas, orientasi seksual, atau identitas gender.

Dengan kata lain, diskriminasi adalah tindakan yang membedakan, mengistimewakan, atau merugikan seseorang atau kelompok tertentu tanpa alasan yang objektif.

Faktor yang menyebabkan fenomena ini berasal dari masyarakat masih sering mengaitkan penampilan fisik dengan kompetensi dan kesuksesan.

Beberapa perusahaan beranggapan bahwa pelanggan lebih menyukai pelayanan dari orang-orang yang menarik secara fisik. Dalam upaya menarik perhatian calon pelanggan, perusahaan berusaha menciptakan citra yang menarik, termasuk melalui penampilan karyawannya.

Praktik diskriminasi dalam dunia kerja ini memiliki dampak negatif yang luas. Banyak orang yang kompeten, tetapi tidak memenuhi standar fisik tertentu terhalang untuk mendapatkan pekerjaan.

Praktik ini melanggar prinsip kesetaraan dan keadilan dalam dunia kerja. Standar kecantikan yang tidak realistis dapat memicu masalah kesehatan mental seperti gangguan citra tubuh.

Fenomena ini juga menarik perhatian pengguna media sosial yang memosting suatu konten yang berkaitan dengan kualifikasi kerja yang berlebihan di negara ini, bahkan untuk posisi-posisi tertentu yang seharusnya tidak begitu ketat dan sempurna. 

"Aku dulu kerja di resto Kanada. Persyaratannya hanya bernapas dan kaki napak tanah. Gaji 30 juta."

"Tapi perbedaan yang jelas itu ada di hukum ketenagakerjaannya. Di Kanada, hukumnya ketat, diskriminasi terhadap fisik, orientasi seksual, dan disabilitas itu ilegal. Bisa berujung dimasukin news, ditutup perusahaannya, diambil licence-nya. Dalam surat lamaran pekerjaannya aja nggak boleh diminta foto," tanggap pemilik akun lain.

Sebenarnya, undang-undang di Indonesia telah memberikan perlindungan bagi pekerja dari segala bentuk diskriminasi. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan secara tegas melarang diskriminasi dalam dunia kerja, baik itu berdasarkan jenis kelamin, usia, ras, etnis, agama, atau disabilitas.

Selain itu, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga menjadi payung hukum yang kuat dalam melindungi hak-hak pekerja.

Meskipun demikian, praktik diskriminasi masih sering terjadi. Oleh karena itu, penting bagi setiap individu untuk memahami hak-haknya dan berani melaporkan jika mengalami tindakan diskriminasi. 

Namun, jika kita melihat fenomena saat ini, rasa-rasanya hal itu hanya lalu belaka. Meskipun tidak semua tempat terjadi tindakan diskriminasi seperti ini, tetapi kasus yang terselubung ini nyatanya cukup banyak tersebar di informasi lowongan pekerjaan yang beredar luas di media massa.

"Padahal gaji yang ditawarkan juga nggak seberapa, tapi kenapa nyarinya spek pramugari semua untuk posisi pelayan rumah makan?"

"Jujur sebagai pelanggan, yang penting orangnya rapi dan ramah aja sih. Yang cantik atau ganteng pun kadang nggak seramah itu, lebih suka yang ramah."

"Pelayanannya ramah untuk ras tertentu kadang. Diskriminasinya udah mengakar dan normal banget kayaknya di negara ini."

Diskriminasi dalam dunia kerja berdasarkan penampilan fisik merupakan masalah serius yang perlu mendapat perhatian. Perusahaan harus menyadari bahwa kecantikan bukanlah satu-satunya faktor penentu kesuksesan seseorang.

Dengan mengubah standar rekrutmen dan menciptakan lingkungan kerja yang inklusif, kita dapat membangun dunia kerja yang lebih adil dan bermartabat.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak