Jeritan Nelayan di Tengah Laut yang Dipagari: Ironi Negeri Maritim

Ayu Nabila | Sherly Azizah
Jeritan Nelayan di Tengah Laut yang Dipagari: Ironi Negeri Maritim
Ilustrasi Nelayan (Pexels/Quang Nguyen Vinh)

Perairan Tangerang menjadi saksi bisu atas kisah tragis yang dialami nelayan setempat. Sebuah pagar sepanjang 30 kilometer tiba-tiba berdiri kokoh, membentengi laut yang seharusnya menjadi ruang bebas bagi para pencari nafkah di pesisir.

Namun, bukannya membawa manfaat, pagar ini malah menghadirkan jeratan baru. Nelayan harus memutar jauh untuk melaut, menambah ongkos operasional, dan mendapati jaring serta baling-baling kapal mereka rusak. Siapa yang berani bermain-main dengan hidup masyarakat pesisir seperti ini?

Tentu, masalah ini tidak bisa dibiarkan menggantung tanpa kejelasan. Di mana peran pengawas laut dan pemerintah setempat saat pagar ini mulai berdiri?

Keberadaan pagar yang dilaporkan misterius ini menyiratkan adanya potensi pelanggaran serius, baik secara administratif maupun hukum. Koalisi masyarakat sipil bersama LBH-AP PP Muhammadiyah kini turun tangan, mendatangi Bareskrim Polri dengan membawa bukti fisik berupa potongan bambu dari lokasi pemagaran. Langkah ini menegaskan bahwa keadilan harus ditegakkan, dan para dalang di balik tindakan ini wajib diungkap.

Presiden Prabowo Subianto pun tak tinggal diam. Ia memerintahkan pembongkaran pagar tersebut pada Sabtu, (18/1/2025), dengan melibatkan ratusan personel TNI AL dan kapal nelayan.

Aksi ini memang menjadi bukti nyata bahwa pemerintah hadir. Namun, pertanyaan mendasarnya tetap sama, bagaimana mungkin pagar sepanjang itu bisa berdiri tanpa terdeteksi? Apakah ada kelalaian institusional atau malah permainan kekuasaan di balik layar? Ombudsman RI kini tengah mendalami dugaan malaadministrasi yang mungkin menjadi kunci membuka tabir misteri ini.

Kerugian yang ditimbulkan pagar ini bukan main-main. Para nelayan kehilangan akses mudah ke laut, memaksa mereka berlayar lebih jauh dengan biaya yang membengkak. Sebuah laporan menyebutkan bahwa kerugian total akibat pagar ini mencapai Rp9 miliar, hal ini dilansir dari suara.com pada (18/1/2025).

Angka fantastis tersebut menunjukkan betapa besarnya dampak kebijakan atau tindakan sepihak yang mengorbankan masyarakat kecil. Laut, yang seharusnya menjadi ruang hidup, malah berubah menjadi penghalang kesejahteraan.

Pagar ini juga mencerminkan konflik kepentingan yang kerap mengorbankan mereka yang berada di bawah piramida sosial. Nelayan, sebagai ujung tombak perikanan nasional, justru terpinggirkan di tanah air sendiri.

Mereka tidak hanya berjuang melawan ombak dan cuaca ekstrem, tetapi kini juga melawan ketidakadilan yang dibangun oleh tangan-tangan tak terlihat. Apakah kita rela melihat ini terjadi tanpa ada solusi jangka panjang yang adil dan berkelanjutan?

Kementerian Kelautan dan Perikanan mendukung pembongkaran pagar sebagai langkah awal penyelesaian konflik. Namun, masalah ini lebih dari sekadar pagar fisik. Ini soal ketimpangan struktural yang membuat masyarakat kecil terus-menerus menjadi korban. Solusi nyata harus mencakup perlindungan hak-hak nelayan, transparansi dalam pengelolaan laut, dan sanksi tegas bagi pihak yang terbukti bersalah.

Pagar misterius di laut Tangerang ini bukan hanya pagar biasa. Ia menjadi simbol dari masalah yang lebih besar: pengabaian terhadap hak hidup masyarakat pesisir.

Kita membutuhkan langkah konkret, bukan hanya sekadar reaksi sementara. Sebab, laut bukan milik segelintir orang, melainkan milik bersama. Jangan sampai suara nelayan yang tercekik oleh pagar ini tenggelam di antara gelombang keserakahan.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak