Lagi-lagi saya tidak sengaja membaca berita di media sosial, tepatnya di Instagram dari akun suaradotcom yang diunggah pada (23/1/2025). Unggahan tersebut membawa kabar mengejutkan yang datang dari perairan Surabaya-Sidoarjo terkait sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) seluas 656 hektar diterbitkan sejak tahun 1996.
Penemuan ini pertama kali diungkap melalui aplikasi Bhumi milik ATR/BPN, yang membuat masyarakat terkejut dengan legalitas sertifikat tersebut di wilayah perairan. Fakta ini semakin memanas karena SHGB di laut dinilai bertentangan dengan Putusan MK No. 85/PUU-XI/2013 yang melarang pemanfaatan ruang perairan untuk kepentingan komersial.
Hal yang menjadi sorotan adalah bagaimana sertifikat ini bisa diterbitkan di area yang seharusnya dilindungi. Menteri ATR/BPN Nusron Wahid menyebut kasus ini berbeda dengan polemik serupa di Tangerang.
Menurutnya, area ini dulunya adalah tambak yang perlahan berubah menjadi laut akibat abrasi menahun. Namun, alasan geografis ini tidak serta-merta membenarkan keberadaan SHGB di wilayah yang kini sudah menjadi perairan.
Fakta ini menimbulkan banyak pertanyaan, bagaimana mekanisme penerbitan SHGB pada masa itu? Apakah ada pengawasan yang cukup ketat terhadap perubahan geografis? Atau, apakah ini mencerminkan lemahnya sistem administrasi di masa lalu?
Di tengah kebingungan ini, polemik SHGB Surabaya menunjukkan perlunya transparansi dalam tata kelola lahan, terutama di area yang menyangkut kepentingan publik.
Kontradiksi Hukum dan Dampaknya
Keberadaan SHGB di laut ini jelas bertentangan dengan hukum. Putusan MK tahun 2013 telah menegaskan bahwa pemanfaatan ruang di atas perairan untuk kepentingan privat atau komersial dilarang.
Namun, kenyataannya, SHGB di perairan Surabaya ini tetap ada, menciptakan ketegangan antara legalitas hukum dan kenyataan administratif. Hal ini mengundang kritik tajam terhadap bagaimana regulasi lahan diimplementasikan di lapangan.
Di sisi lain, dampaknya juga dirasakan oleh lingkungan dan masyarakat sekitar. Kawasan ini berada dekat dengan ekowisata mangrove yang menjadi salah satu aset lingkungan penting di Surabaya.
Jika SHGB tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan komersial, bagaimana nasib konservasi lingkungan di wilayah itu? Selain itu, hal ini menimbulkan risiko bahwa perairan lain di Indonesia bisa menjadi sasaran praktik serupa.
Polemik ini juga menunjukkan potensi konflik kepentingan. Siapa sebenarnya yang diuntungkan dari SHGB ini? Apakah kepentingan publik benar-benar diperhatikan? Transparansi dan akuntabilitas menjadi isu utama yang harus dijawab oleh pihak berwenang, mengingat dampaknya yang meluas.
Solusi dan Refleksi: Laut untuk Siapa?
Menteri ATR/BPN menyebutkan dua skenario penyelesaian: tidak melanjutkan SHGB atau mengategorikan area tersebut sebagai tanah musnah.
Kedua opsi ini terlihat menjanjikan, tetapi pelaksanaannya membutuhkan proses hukum dan administratif yang jelas. Apalagi, perlu ada evaluasi mendalam tentang mekanisme penerbitan sertifikat agar kasus serupa tidak terulang.
Kasus ini seharusnya menjadi momen refleksi bagi pemerintah dan masyarakat. Laut adalah milik bersama yang seharusnya dijaga, bukan dikuasai untuk kepentingan pribadi.
Dalam era isu lingkungan semakin krusial, perlindungan perairan harus menjadi prioritas utama. Kebijakan seperti ini harus memastikan bahwa kepentingan publik tetap diutamakan.
Polemik SHGB di laut Surabaya bukan hanya tentang sertifikat, tetapi juga tentang bagaimana kita memandang dan memperlakukan ruang publik. Apakah kita akan membiarkan laut menjadi komoditas, atau menjadikannya simbol keadilan dan keberlanjutan? Jawabannya ada di tangan kita semua.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS