Menulis Itu Kerja Keras, Kenapa Banyak yang Menganggap Remeh?

Hernawan | Sabit Dyuta
Menulis Itu Kerja Keras, Kenapa Banyak yang Menganggap Remeh?
Ilustrasi penulis lepas (Freepik/yanalya)

Pekerjaan di dunia kreatif sering kali menghadapi stigma yang sama: dianggap mudah, tidak stabil, dan kurang serius dibanding pekerjaan kantoran. Dan salah satu profesi yang paling sering diremehkan adalah penulis lepas.

Banyak orang beranggapan bahwa pekerjaan ini hanya sekadar merangkai kata tanpa upaya berarti. Ada pula yang mengira menulis bisa dilakukan siapa saja tanpa keterampilan khusus, seolah-olah semua orang yang bisa membaca otomatis bisa menjadi penulis yang baik.

Pandangan ini tidak muncul begitu saja. Budaya kerja konvensional cenderung mengukur produktivitas dari sesuatu yang terlihat: seragam kerja, jam kantor, dan interaksi langsung dengan atasan.

Pekerjaan yang dilakukan dari rumah, apalagi tanpa kantor fisik atau struktur organisasi yang jelas, dianggap kurang nyata. Bagi sebagian orang, bekerja berarti keluar rumah, menghadapi kemacetan, dan mengikuti ritme kantor yang ketat. 

Sementara itu, profesi seperti penulis lepas tidak sesuai dengan gambaran tersebut, sehingga sering kali dianggap sebagai aktivitas sampingan atau bahkan pengangguran terselubung.

Padahal, menulis bukan sekadar mengetik. Setiap tulisan yang berkualitas melewati proses panjang: mencari ide, melakukan riset, menyusun narasi yang tepat, hingga menyunting agar tulisan mudah dipahami pembaca.

Seorang penulis lepas juga harus memahami tren, kebutuhan pasar, dan algoritma platform digital agar tulisannya tidak hanya enak dibaca, tetapi juga efektif dan bernilai jual. Semua ini membutuhkan keterampilan yang terus diasah dan tidak bisa dianggap remeh.

Salah satu faktor lain yang membuat pekerjaan ini kurang dihargai adalah anggapan bahwa menulis tidak menghasilkan pendapatan besar.

Sebenarnya, banyak pekerja lepas yang bisa mendapatkan penghasilan setara—bahkan lebih tinggi—dibandingkan pekerja kantoran, asalkan memiliki keahlian dan strategi yang tepat. Namun, karena penghasilan ini tidak selalu tampak jelas seperti gaji bulanan yang tetap, profesi ini dianggap kurang stabil.

Ironisnya, di era digital, kebutuhan akan konten justru semakin meningkat. Artikel, opini, esai, hingga konten pemasaran semuanya bergantung pada keterampilan menulis.

Banyak bisnis dan platform media yang membutuhkan penulis berbakat untuk menghasilkan konten berkualitas. Namun, penghargaan terhadap profesi ini belum sebanding dengan peran yang dimainkannya dalam industri kreatif dan informasi.

Stigma terhadap pekerjaan di bidang kreatif bukan hanya masalah individu, tetapi juga cerminan dari cara masyarakat memandang dunia kerja.

Profesi yang tidak memiliki struktur hierarkis yang jelas sering kali dianggap lebih santai dan tidak seserius pekerjaan di sektor formal. Padahal, di balik layar, ada kerja keras, ketekunan, dan dedikasi yang tidak kalah dengan pekerjaan lain.

Sudah seharusnya cara pandang terhadap profesi kreatif berubah. Di era digital yang serba terhubung, batas antara pekerjaan tradisional dan pekerjaan berbasis kreativitas semakin kabur.

Penulis lepas, desainer grafis, hingga pekerja kreatif lainnya memainkan peran besar dalam industri digital. Menganggap remeh profesi ini bukan hanya bentuk ketidaktahuan, tetapi juga ketidakadilan terhadap kerja keras yang dilakukan oleh banyak orang di bidang ini.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak