Media sosial telah menjadi ruang publik yang mendominasi kehidupan masyarakat global. Media sosial telah berubah cara seseorang berkomunikasi, mengakses informasi, bahkan membuat opini.
Platform seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan TikTok, bisa menjadi medium bagi setiap individu untuk menyuarakan kritik terhadap kondisi sosial maupun politik yang terjadi.
Kebebasan berpendapat merupakan hak asasi manusia secara universal, media sosial dapat menjadi wujud baru dalam menyampaikan pendapat secara berkeadilan, sehingga memungkinkan terciptanya demokrasi informasi yang melibatkan semua kalangan.
Akan tetapi, kehadiran media sosial tidak lepas dari masalah. Terjadinya informasi hoaks, adanya ujaran kebencian, dan regulasi yang kontroversial seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menguji kebebasan berekspresi di dunia maya.
Di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa media sosial menjadi satu alat kendali opini melalui algoritma, propaganda digital, atau penyebaran informasi yang terarah.
Lantas, apakah media sosial benar-benar menjadi ruang berpikir yang bebas atau hanya sekedar alat kendali opini yang mengendalikan pola pikir penggunanya?
Media sosial sebagai ruang bebas berpikir
Media sosial memungkinkan siapa saja dapat mengekspresikan setiap pendapatnya tanpa harus melewati penyaringan seperti yang ditemukan di media tradisional.
Keberadaan platform ini dapat menjadi ruang untuk menciptakan demokrasi informasi yang melibatkan semua pihak, setiap individu bebas mengaksesnya dengan berbagai sudut pandang dan menciptakan pemikiran sendiri.
Sebagai ruang berpikir, setiap individu dapat menyampaikan pendapatnya terhadap kondisi yang terjadi. Selain itu, kecepatan mendapatkan informasi juga tercipta secara mudah dengan melalui media sosial.
Bahkan, sering kali kita temukan media sosial banyak dimanfaatkan sebagai ruang memberikan penyadaran dan kampanye gerakan-gerakan sosial.
Dengan kebebasan ini, media sosial dapat menjadi ruang individu untuk mengembangkan berpikir kritis dan terbuka terhadap berbagai perspektif.
Tak terkecuali, media sosial sering dimanfaatkan untuk menuntut keadilan kepada pemerintah. Sebagai contoh, fenomena no viral, no justice, yang menjadi jalan menyuarakan kritik terhadap sistem penegak hukum yang cenderung lambat atau bahkan abai tanpa tekanan publik.
Media sosial sebagai alat kendali opini
Di balik kebebasan yang ditawarkan, media sosial juga memiliki mekanisme yang dapat membentuk, bahkan mengontrol cara berpikir penggunanya.
Beberapa faktor yang menyebabkan hal ini adalah algoritma yang memfilter informasi, manipulasi opini publik, efek polarisasi, dan adanya kontrol konten.
Konten bisa saja dihapus, bahkan diblokir jika dianggap bertentangan kebijakan platform atau kepentingan tertentu.
Selain dari sisi platfrom, pembatasan kebebasan berpikir di media sosial sering kali ditengarai adanya UU ITE. Kritik yang dianggap terlalu berlebihan di media sosial, bisa saja dianggap telah melanggar UU ITE.
Oleh karena itu, media sosial bagaikan pedang bermata dua, di satu sisi ia memberikan kebebasan berpikir dan berekspresi, di sisi lain juga menjadi alat mengontrol opini publik dengan adanya pembatasan konten yang tidak sesuai kebijakan dan adanya UU ITE.
Keberadaan media sosial dapat menjadi kebebasan berpikir tergantung individu sejauh mana bisa menyaring informasi kritis dan tidak terjebak dalam propaganda publik.
Maka dari itu, penting bagi setiap individu meningkatkan literasi digital, berpikir kritis terhadap setiap informasi, serta membuka diri terhadap berbagai sudut pandang.
Dengan begitu, media sosial bisa benar-benar menjadi ruang kebebasan berpikir yang sehat dan bukan hanya sekedar alat kendali opini.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS