Perkembangan pesat dunia literasi digital memang membuka banyak peluang bagi penulis fiksi untuk mengekspresikan karya. Platform menulis online yang memungkinkan penulis mempublikasikan karya secara gratis telah mendongkrak eksposur karya sastra, memungkinkan banyak penulis yang sebelumnya tidak memiliki kesempatan untuk dikenal. Namun, di balik kemudahan ini, muncul dilema yang cukup memprihatinkan bagi banyak penulis, terutama yang ingin mempertahankan nilai-nilai literasi yang mendidik dan menginspirasi.
Saat ini, persaingan dalam dunia menulis online semakin tidak sehat, terlebih dengan munculnya cerita-cerita yang lebih menonjolkan unsur vulgar dan adegan berhubungan intim di setiap babnya. Ironisnya, cerita-cerita semacam ini justru lebih diminati dan laku keras, sementara karya-karya dengan diksi sastra yang indah, alur yang rapi, dan struktur cerita yang baik justru sering kali sepi pembaca.
Banyak sekali penulis 'instan' yang tidak benar-benar belajar bagaimana membuat outline, menyusun alur cerita yang baik, dan pendalaman karakter dalam membuat cerita fiksi. Hanya menulis saja, lalu menebar adegan tidak senonoh dalam setiap bab ceritanya, kemudian bom! banjir pembaca. Fenomena ini menunjukkan pergeseran besar dalam selera penikmat sastra, di mana banyak yang lebih tertarik pada hiburan semu yang tidak mendidik daripada cerita yang bisa memberikan nilai-nilai positif.
Idealnya, literasi dan karya sastra seharusnya memiliki tujuan untuk menginspirasi dan mendidik. Namun, saat ini banyak penulis yang dihadapkan pada pilihan sulit antara mempertahankan idealisme menulis karya berkualitas atau mengikuti selera pasar yang lebih cenderung pada cerita vulgar dan berfokus pada gratifikasi instan. Ditambah lagi, keberpihakan penerbit pada karya yang tidak banyak menyuguhkan hal-hal berbau seks juga semakin samar.
Meski sangat bisa dipahami, bahwa tujuan penerbit dan platform menulis online juga mencari karya yang paling mudah untuk 'dijual'. Hal ini menjadi dilema besar, di mana penulis harus memutuskan apakah mereka akan mengikuti arus pasar demi popularitas atau tetap mempertahankan kualitas tulisan meskipun tidak banyak diminati.
Masalahnya, salah satu dampak dari maraknya cerita vulgar ini adalah penetrasi aksesibilitas yang sangat mudah melalui platform digital. Banyak anak-anak di bawah umur yang bisa dengan mudah mengakses cerita-cerita seperti ini tanpa ada pengawasan yang memadai.
Pada akhirnya, cerita-cerita yang tidak sesuai dengan usia ini justru berisiko memberi dampak buruk pada perkembangan mental dan moral generasi mendatang. Banyak di antara pembaca yang tidak sekadar menikmati cerita dengan tujuan seni, tetapi lebih pada hasrat pribadi yang bersifat negatif, seperti untuk tujuan masturbasi atau fantasi semata. Lalu, jika sudah seektrim ini, siapa yang harus bertanggung jawab?
Penyebaran cerita vulgar ini, tentu saja, tidak hanya memberi dampak buruk pada pembaca, tetapi juga merusak budaya literasi secara keseluruhan. Cerita-cerita yang semestinya dapat menggugah rasa keingintahuan intelektual dan memberi pencerahan pada pembaca, malah tergerus oleh konsumsi bacaan yang lebih cenderung mengarah pada kepuasan instan. Dalam jangka panjang, hal ini akan membuat kualitas literasi dalam masyarakat semakin menurun, dan hal yang lebih mengkhawatirkan adalah bagaimana generasi mendatang akan memahami makna dari sebuah karya sastra yang sesungguhnya.
Namun, situasi ini juga mengingatkan kita pada tantangan besar yang dihadapi oleh dunia sastra dan penerbitan di era digital. Penulis kini harus berpikir keras untuk menyeimbangkan antara keinginan untuk tetap setia pada kualitas karya dan tuntutan pasar yang terus berubah. Solusi terbaik mungkin terletak pada kolaborasi antara penulis, pembaca, dan platform menulis itu sendiri, untuk menciptakan sistem yang lebih selektif dalam memilih dan menyaring karya yang layak dibaca oleh semua kalangan, terutama bagi pembaca di bawah umur.
Sementara itu, penting bagi pembaca untuk memiliki kesadaran kritis dalam memilih bacaan mereka. Pembaca harus lebih bijak dalam mengakses konten-konten yang ada dan memahami bahwa literasi bukan sekadar hiburan semata, tetapi juga merupakan sarana pembelajaran dan pencerahan. Di sisi lain, penulis fiksi perlu terus berjuang untuk menjaga kualitas karya mereka meskipun menghadapi banyak godaan untuk mengikuti tren pasar yang kurang mendidik.
Pada akhirnya, tujuan literasi yang sesungguhnya adalah untuk menciptakan masyarakat yang lebih cerdas, berpikir kritis, dan memiliki wawasan yang luas. Jika fenomena ini terus berlanjut, kita perlu bertanya-tanya tentang arah literasi di masa depan dan bagaimana kita bisa kembali mengarahkan pembaca untuk menghargai karya sastra yang benar-benar mendidik dan menginspirasi.