Rahasia Komitmen Afektif, Membangun Hubungan Emosional dengan Organisasi

Hikmawan Firdaus | Rion Nofrianda
Rahasia Komitmen Afektif, Membangun Hubungan Emosional dengan Organisasi
Ilustrasi karyawan yang memiliki komitmen afektif bagi organisasinya (pexels/fauxels)

Komitmen afektif merupakan salah satu bentuk komitmen organisasi yang mencerminkan keterikatan emosional karyawan terhadap organisasi tempat mereka bekerja. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Allen dan Meyer pada tahun 1990, yang mengidentifikasi tiga komponen utama dalam komitmen organisasi: komitmen afektif, komitmen normatif, dan komitmen berkelanjutan. Komitmen afektif sendiri didefinisikan sebagai keterikatan emosional, identifikasi, dan keterlibatan individu dalam organisasi. Karyawan dengan komitmen afektif yang tinggi cenderung memiliki perasaan positif terhadap organisasi dan menunjukkan keinginan kuat untuk tetap menjadi bagian dari organisasi tersebut.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nofrianda, Sari, dan Widiana (2020) yang berjudul "Kinerja Kontekstual dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi", komitmen afektif dibahas dalam konteks hubungannya dengan kinerja kontekstual karyawan. Kinerja kontekstual mengacu pada perilaku karyawan yang mendukung lingkungan sosial dan psikologis di tempat kerja, seperti membantu rekan kerja, menunjukkan antusiasme, dan berkontribusi pada keseluruhan efektivitas organisasi. Penelitian ini menyoroti bahwa komitmen afektif memiliki peran penting dalam memoderasi hubungan antara kepuasan kerja dan kinerja kontekstual. Artinya, karyawan yang merasa puas dengan pekerjaannya dan memiliki komitmen afektif yang tinggi cenderung menunjukkan kinerja kontekstual yang lebih baik.

Selain itu, penelitian ini juga menemukan bahwa komitmen afektif tidak memoderasi pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja kontekstual. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun budaya organisasi yang kuat dapat memengaruhi kinerja kontekstual, peran komitmen afektif sebagai moderator dalam hubungan ini tidak signifikan. Temuan ini mengindikasikan bahwa faktor lain mungkin berperan dalam memperkuat hubungan antara budaya organisasi dan kinerja kontekstual.

Pentingnya komitmen afektif dalam konteks organisasi juga didukung oleh berbagai penelitian lainnya. Misalnya, penelitian oleh Rhoades, Eisenberger, dan Armeli (2001) menunjukkan bahwa dukungan yang dirasakan dari organisasi (perceived organizational support) berkontribusi positif terhadap komitmen afektif karyawan. Ketika karyawan merasa bahwa organisasi menghargai kontribusi mereka dan peduli terhadap kesejahteraan mereka, mereka cenderung mengembangkan keterikatan emosional yang lebih kuat terhadap organisasi. Keterikatan ini, pada gilirannya, dapat mengurangi keinginan karyawan untuk meninggalkan organisasi dan meningkatkan kinerja mereka.

Selain itu, komitmen afektif juga berperan sebagai mediator dalam berbagai hubungan antara faktor organisasi dan hasil kinerja. Sebagai contoh, penelitian oleh Becker, Allen, dan Meyer (1990) menunjukkan bahwa komitmen afektif dapat memediasi hubungan antara dukungan organisasi yang dirasakan dan kinerja karyawan. Dalam hal ini, dukungan yang diberikan oleh organisasi meningkatkan komitmen afektif karyawan, yang pada akhirnya berdampak positif pada kinerja mereka.

Namun, penting untuk dicatat bahwa komitmen afektif tidak selalu berperan sebagai moderator dalam semua hubungan antara variabel organisasi dan kinerja. Sebagaimana ditemukan dalam penelitian Nofrianda et al. (2020), komitmen afektif tidak memoderasi hubungan antara budaya organisasi dan kinerja kontekstual. Hal ini menunjukkan bahwa peran komitmen afektif dapat bervariasi tergantung pada konteks dan variabel yang terlibat.

Untuk meningkatkan komitmen afektif karyawan, organisasi dapat mengambil berbagai langkah strategis. Salah satunya adalah dengan menciptakan lingkungan kerja yang mendukung dan menghargai kontribusi karyawan. Dukungan yang dirasakan dari organisasi dapat meningkatkan keterikatan emosional karyawan terhadap organisasi. Selain itu, pengembangan budaya organisasi yang positif dan inklusif dapat membantu karyawan merasa lebih terhubung dan berkomitmen secara emosional. Pelatihan dan pengembangan profesional yang berkelanjutan juga dapat meningkatkan kepuasan kerja dan, pada gilirannya, memperkuat komitmen afektif.

Selain itu, kepemimpinan transformasional telah ditemukan memiliki pengaruh positif terhadap komitmen afektif karyawan. Pemimpin yang mampu menginspirasi, memotivasi, dan memberikan dukungan kepada karyawan dapat meningkatkan keterikatan emosional mereka terhadap organisasi. Dengan demikian, pengembangan keterampilan kepemimpinan transformasional di kalangan manajer dan supervisor dapat menjadi strategi efektif dalam meningkatkan komitmen afektif karyawan.

Secara keseluruhan, komitmen afektif memainkan peran krusial dalam menentukan kinerja dan retensi karyawan dalam organisasi. Dengan memahami faktor-faktor yang memengaruhi komitmen afektif dan mengambil langkah-langkah proaktif untuk meningkatkannya, organisasi dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih produktif, harmonis, dan berkelanjutan. Penelitian seperti yang dilakukan oleh Nofrianda et al. (2020) memberikan wawasan berharga tentang dinamika ini dan dapat menjadi dasar bagi pengembangan kebijakan dan praktik manajemen sumber daya manusia yang lebih efektif.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak