Di Balik Gaun Pengantin, Luka Psikologis Pernikahan Dini

Hikmawan Firdaus | Rion Nofrianda
Di Balik Gaun Pengantin, Luka Psikologis Pernikahan Dini
Ilustrasi sepasang cincin pernikahan (Pexels/Megapixelstock)

Pernikahan dini masih menjadi fenomena sosial yang mengkhawatirkan di Indonesia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Purwaningtyas dkk dalam Jurnal Psikologi Wijaya Putra (2022), dampak psikologis dari pernikahan dini terhadap perempuan sangat signifikan dan berkontribusi terhadap berbagai permasalahan mental. Sayangnya, persoalan ini sering kali terabaikan oleh masyarakat dan pemangku kebijakan yang lebih banyak berfokus pada aspek sosial dan ekonomi daripada implikasi mental jangka panjang.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017 menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Timur memiliki angka pernikahan anak sebesar 27,09%. Lebih dari seperempat perempuan menikah sebelum mencapai usia yang dianggap matang untuk membangun rumah tangga secara emosional dan psikologis. Angka ini bukan hanya sekadar statistik, tetapi juga mencerminkan keterbatasan yang dihadapi perempuan muda dalam menentukan masa depan mereka sendiri. Pernikahan dini kerap terjadi di daerah dengan tingkat pendidikan rendah dan ekonomi yang lemah. Salah satu contohnya adalah di Kota Jombang, Kecamatan Ngusikan, Desa Manunggal, tempat penelitian ini dilakukan. Faktor ekonomi, budaya, dan kurangnya kesadaran akan dampak negatif pernikahan dini menjadi alasan utama masih tingginya angka pernikahan usia muda.

Pernikahan dini membawa konsekuensi psikologis yang mendalam. Dalam usia yang masih belia, perempuan yang menikah dini belum memiliki kesiapan emosional dan psikologis untuk menghadapi kompleksitas kehidupan rumah tangga. Penelitian yang dilakukan oleh Ristanti dkk. menemukan bahwa perempuan yang menikah di usia muda mengalami perkembangan psikologis dan fisik yang lebih lambat dibandingkan mereka yang menikah pada usia lebih matang. Kondisi ini sering kali menempatkan mereka dalam tekanan emosional yang besar. Banyak di antara mereka mengalami kecemasan, depresi, hingga gangguan stres pascatrauma akibat tekanan rumah tangga yang tidak siap mereka hadapi. Ketidakmatangan emosional juga membuat mereka kurang mampu mengelola konflik, yang berujung pada pertengkaran dalam rumah tangga dan, dalam banyak kasus, perceraian dini. Selain itu, banyak dari mereka kehilangan kesempatan untuk mengembangkan diri, baik dalam bidang pendidikan maupun karier, yang akhirnya berdampak pada rendahnya rasa percaya diri dan perasaan ketidakberdayaan.

Pernikahan dini tidak hanya menghadirkan beban mental bagi individu yang mengalaminya, tetapi juga membawa tekanan sosial yang cukup besar. Dalam beberapa kasus, perempuan yang menikah muda harus menghadapi stigma negatif dari lingkungan, terutama jika pernikahan mereka berakhir dengan perceraian atau kesulitan finansial. Stigma ini semakin memperburuk kondisi psikologis mereka, menciptakan siklus keterbatasan yang sulit diputus. Pemerintah telah mengubah batas usia pernikahan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, yang menetapkan usia minimum pernikahan bagi perempuan menjadi 19 tahun. Namun, kenyataannya praktik pernikahan dini masih terjadi. Berbagai celah hukum masih memungkinkan orang tua mengajukan dispensasi pernikahan bagi anak-anak mereka, sering kali tanpa mempertimbangkan dampak psikologis jangka panjangnya.

Sosialisasi mengenai bahaya pernikahan dini yang dilakukan oleh BKKBN masih terbatas dan lebih banyak berfokus pada dampak kesehatan fisik dibandingkan dampak psikologis. Minimnya pemanfaatan media digital dan kurangnya kampanye yang efektif juga menjadi tantangan dalam menyebarluaskan informasi mengenai risiko pernikahan dini. Padahal, upaya pencegahan harus dilakukan dengan pendekatan yang lebih luas dan komprehensif. Pendidikan mengenai pernikahan dini harus menjadi bagian dari kurikulum sekolah, terutama di daerah dengan angka pernikahan anak yang tinggi. Edukasi mengenai kesehatan mental perlu ditingkatkan agar remaja memahami pentingnya kesiapan psikologis sebelum menikah. Media digital seharusnya dimanfaatkan lebih baik untuk menyebarluaskan informasi melalui infografis, video edukasi, dan kampanye di media sosial agar lebih mudah diakses oleh generasi muda.

Di sisi lain, faktor ekonomi tetap menjadi pendorong utama pernikahan dini. Oleh karena itu, pemberdayaan perempuan harus menjadi fokus dalam upaya pencegahan. Program pelatihan keterampilan dan bantuan usaha kecil dapat menjadi solusi agar mereka tidak terpaksa menikah di usia muda hanya karena tekanan ekonomi. Pemerintah juga harus memperketat aturan terkait dispensasi pernikahan anak agar tidak disalahgunakan. Selain itu, perlu ada sistem pemantauan yang memastikan bahwa anak-anak perempuan mendapatkan hak mereka untuk tumbuh dan berkembang secara optimal sebelum menikah.

Pernikahan dini bukan hanya sekadar permasalahan sosial dan ekonomi, tetapi juga persoalan psikologis yang berdampak besar pada kesejahteraan perempuan. Dengan angka yang masih tinggi di berbagai daerah, langkah konkret dan terintegrasi harus segera diambil untuk melindungi generasi muda dari dampak negatif pernikahan dini. Kesadaran masyarakat, regulasi yang lebih kuat, dan pemberdayaan perempuan adalah kunci utama dalam mengatasi masalah ini sebelum semakin banyak perempuan yang harus menghadapi konsekuensi psikologis yang berat akibat pernikahan dini.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak