Takut Dinilai Buruk, Penjara Tak Terlihat di Era Media Sosial

Hikmawan Firdaus | Rion Nofrianda
Takut Dinilai Buruk, Penjara Tak Terlihat di Era Media Sosial
Ilustrasi seseorang menyendiri karena rasa takut (Pexels/pixabay)

Dalam setiap diri manusia, ada satu kebutuhan yang sama kuatnya dengan kebutuhan akan makanan dan tempat tinggal: kebutuhan untuk diterima. Kita semua ingin diakui, disukai, dihargai, dan dianggap cukup. Namun di balik keinginan itu, tersembunyi ketakutan purba yang membayangi hampir setiap tindakan sosial kita ketakutan untuk dinilai buruk. Dalam psikologi modern, kondisi ini dikenal sebagai Fear of Negative Evaluation (FNE), sebuah fenomena yang mengikat hubungan antara persepsi diri dan bayangan pandangan orang lain. Ia bukan hanya soal rasa malu atau gugup, melainkan sebuah dinamika batin yang bisa menuntun seseorang pada kecemasan sosial, perfeksionisme, bahkan pengasingan diri.

FNE pertama kali diperkenalkan secara ilmiah oleh Watson dan Friend pada akhir 1960-an. Mereka menggambarkannya sebagai rasa takut yang intens, menetap, dan sering kali tidak rasional terhadap penilaian negatif dari orang lain. Seseorang dengan tingkat FNE tinggi hidup dalam kewaspadaan konstan terhadap pandangan sosial di sekitarnya. Setiap interaksi menjadi ajang evaluasi, setiap diam dianggap penolakan, setiap senyum yang kurang hangat diartikan sebagai kritik terselubung. Dunia sosial, yang seharusnya menjadi ruang kebersamaan, berubah menjadi medan ujian tanpa akhir.

Bagi sebagian orang, rasa takut ini berakar pada pengalaman masa kecil. Didikan yang keras, lingkungan kompetitif, atau pengalaman dipermalukan di depan umum bisa menanamkan keyakinan bahwa nilai diri selalu ditentukan oleh penilaian eksternal. Anak-anak yang tumbuh dengan penghargaan yang bersyarat hanya dipuji saat berprestasi, tapi diabaikan saat gagal belajar bahwa kasih sayang dan penerimaan harus dibayar dengan kesempurnaan. Mereka kemudian membawa pola ini ke masa dewasa: menjadi pekerja yang takut salah, pasangan yang takut mengecewakan, atau teman yang selalu berusaha menyenangkan orang lain, bahkan dengan mengorbankan dirinya sendiri.

Namun, FNE bukan sekadar persoalan psikologis individu. Dalam konteks sosial dan budaya modern, ia telah menjelma menjadi fenomena struktural yang melibatkan norma, sistem nilai, dan teknologi. Dunia digital, khususnya media sosial, memperluas jangkauan mata yang menilai. Jika dulu penilaian datang dari lingkaran kecil keluarga, teman, rekan kerja kini ia datang dari ribuan orang yang bahkan tak kita kenal. Setiap unggahan menjadi semacam ujian moral dan estetika; setiap opini berpotensi memicu debat, ejekan, atau pembatalan sosial (cancel culture). Ketika algoritma mengukur nilai manusia lewat likes, views, dan followers, maka FNE bukan lagi kondisi langka: ia menjadi epidemi emosional yang menyebar lewat layar ponsel.

Di era digital ini, citra diri bukan hanya sesuatu yang dirasakan, melainkan sesuatu yang dikonstruksi dan dipertontonkan. Kita hidup dalam apa yang disebut para sosiolog sebagai the economy of visibility ekonomi yang mengubah perhatian menjadi mata uang. Semakin banyak perhatian yang didapat, semakin tinggi nilai sosial seseorang. Tapi setiap mata yang memandang juga membawa potensi untuk menilai, mengkritik, dan menolak. Maka, ketakutan akan penilaian buruk menjadi bagian tak terelakkan dari cara kita hidup, bekerja, dan berinteraksi.

Tidak heran jika banyak orang modern hidup dalam paradoks emosional: ingin menonjol, tapi takut disorot; ingin diterima, tapi takut berbeda; ingin jujur, tapi takut disalahpahami. Di balik keberanian digital yang tampak komentar lantang, pendapat keras, atau penampilan percaya diri di media sosial sering tersembunyi kegelisahan eksistensial yang dalam. Keberanian yang ditampilkan di layar sering kali hanyalah topeng dari rasa takut dinilai yang tak terucapkan.

FNE bukan hanya membuat seseorang cemas; ia juga memengaruhi cara berpikir dan bertindak. Orang dengan FNE tinggi cenderung menghindari situasi sosial yang berisiko menimbulkan penilaian, seperti berbicara di depan umum, mengajukan ide di rapat, atau bahkan mengunggah sesuatu di media sosial. Mereka memilih diam agar tidak disalahpahami, menahan opini agar tidak dikritik, dan bersembunyi di balik kesopanan yang menyesakkan. Dalam jangka panjang, pola ini menekan potensi intelektual dan emosional mereka. Kreativitas yang seharusnya tumbuh dari keberanian justru layu di bawah tekanan perfeksionisme dan ketakutan akan kesalahan.

Dalam dunia kerja, FNE dapat menjadi penghambat produktivitas yang tak terlihat. Karyawan yang takut dikritik akan lebih banyak bermain aman, meniru, dan menghindari ide-ide baru. Di ruang akademik, mahasiswa dengan FNE tinggi sering kali pasif; mereka takut bertanya karena khawatir dianggap bodoh. Di ruang publik, warga yang takut diserang opini memilih bungkam, dan pada akhirnya, diskursus sosial kehilangan keberagaman pandangan. Dengan kata lain, FNE bukan hanya masalah individu, melainkan juga ancaman terhadap dinamika sosial yang sehat.

Yang lebih menarik, FNE sering kali tumbuh subur di masyarakat yang menjunjung tinggi kehormatan, kesopanan, dan harmoni sosial seperti banyak masyarakat Asia, termasuk Indonesia. Budaya “malu” dan “tidak enak” sering kali melatih orang untuk menahan diri demi menjaga perasaan orang lain atau menghindari konflik. Nilai ini memang penting untuk menjaga keselarasan sosial, namun dalam kadar berlebihan, ia melahirkan bentuk kepatuhan sosial yang semu. Ketika seseorang takut mengekspresikan pendapat karena khawatir dinilai tidak sopan, atau ketika seorang anak takut jujur karena takut dianggap durhaka, maka FNE menjadi alat sosial yang menundukkan, bukan sekadar gejala psikologis.

Fenomena ini tampak jelas di banyak ruang kehidupan publik. Di tempat kerja, kritik terhadap atasan sering dianggap kurang ajar, bukan kontribusi. Di ruang akademik, perbedaan pandangan kadang dipandang sebagai bentuk pembangkangan. Di dunia digital, wacana kritis sering dibungkam oleh serangan personal atau ejekan massal. Akibatnya, banyak orang belajar untuk menyesuaikan diri dengan arus utama opini, bukan karena mereka setuju, tetapi karena mereka takut menanggung stigma “berbeda.”

Namun, tak semua bentuk FNE bersifat negatif. Dalam dosis tertentu, ia dapat menjadi mekanisme sosial yang adaptif. Rasa takut dinilai buruk membuat kita belajar berempati, memperhatikan etika, dan menjaga hubungan sosial. FNE yang moderat mendorong seseorang untuk berperilaku sesuai norma dan memperbaiki diri. Tapi ketika rasa takut itu melampaui batas ketika ia membuat seseorang kehilangan kebebasan berpikir dan bertindak maka ia berubah menjadi belenggu psikologis yang menyesakkan.

Dalam psikoterapi modern, penanganan FNE biasanya berfokus pada membangun kesadaran diri dan mengubah pola pikir. Pendekatan seperti Cognitive Behavioral Therapy (CBT) membantu individu mengenali bahwa ketakutan mereka sering kali didasarkan pada asumsi yang berlebihan. Misalnya, seseorang mungkin percaya bahwa kesalahan kecil akan membuat orang lain memandangnya rendah, padahal dalam kenyataannya, orang jarang memperhatikan sejauh itu. Proses terapeutik ini mengajarkan seseorang untuk memisahkan antara persepsi dan kenyataan, antara kritik yang membangun dan penolakan yang dibayangkan.

Selain terapi kognitif, latihan keberanian sosial juga menjadi bagian penting dari pemulihan. Orang dengan FNE tinggi diajak untuk perlahan-lahan menghadapi situasi yang mereka takuti berbicara di depan umum, mengajukan pendapat, atau menolak permintaan tanpa rasa bersalah. Tujuannya bukan untuk menghapus rasa takut, tetapi untuk mengubah relasi seseorang terhadap rasa takut itu. Karena kenyataannya, rasa takut akan penilaian tidak akan pernah benar-benar hilang; yang bisa diubah hanyalah seberapa besar kekuasaannya atas kita.

Dalam tataran sosial yang lebih luas, mengatasi FNE memerlukan perubahan budaya. Kita perlu membangun lingkungan yang menghargai proses, bukan hanya hasil; yang merayakan kejujuran, bukan hanya kesempurnaan. Dalam dunia kerja, pemimpin perlu menciptakan ruang di mana karyawan merasa aman untuk bersuara tanpa takut dipermalukan. Di ruang pendidikan, guru perlu menumbuhkan keberanian bertanya dan mengapresiasi kesalahan sebagai bagian dari belajar. Di ruang digital, pengguna perlu belajar bahwa perbedaan pendapat bukan ancaman, melainkan tanda bahwa kebebasan berpikir masih hidup.

Masyarakat yang sehat bukanlah masyarakat tanpa kritik, melainkan masyarakat di mana kritik tidak dianggap sebagai serangan pribadi. Ketika seseorang mampu menerima penilaian negatif tanpa merasa terancam, ketika ia bisa mengakui kesalahan tanpa kehilangan harga diri, maka FNE perlahan kehilangan cengkeramannya.

Namun jalan menuju masyarakat semacam itu tidak mudah. Dunia modern telah menanamkan terlalu dalam gagasan bahwa nilai diri harus diukur dari validasi eksternal. Kita tumbuh dengan dorongan untuk “tampak baik,” bukan untuk “menjadi baik.” Kita diajarkan untuk tampil sesuai ekspektasi, bukan menumbuhkan integritas batin. Dalam sistem sosial seperti ini, FNE bukan hanya akibat, tapi juga bahan bakar dari cara hidup yang dibangun di atas pencitraan.

Mungkin inilah sebabnya mengapa banyak orang sukses pun tetap hidup dalam ketakutan akan penilaian buruk. Mereka telah mencapai segalanya, tapi masih dihantui kemungkinan gagal di mata orang lain. FNE tidak mengenal status sosial, pendidikan, atau prestasi; ia hanya membutuhkan satu hal untuk hidup: perhatian terhadap pandangan orang. Semakin besar panggung yang kita pijak, semakin keras pula gema penilaian itu terdengar.

Pada akhirnya, melampaui FNE bukan berarti berhenti peduli pada opini orang lain. Kita tetap hidup dalam masyarakat, dan hubungan sosial selalu melibatkan penilaian. Yang penting adalah menempatkan penilaian itu pada porsi yang sehat menggunakannya sebagai cermin, bukan cambuk; sebagai bahan refleksi, bukan sumber ketakutan.

Kita semua mungkin pernah merasa ditolak, dikritik, atau disalahpahami. Tapi dari pengalaman-pengalaman itu pula kita belajar bahwa nilai diri tidak bisa bergantung pada penerimaan eksternal. Dunia akan selalu punya pendapat, dan orang akan selalu menilai. Namun sejauh kita berdamai dengan kemungkinan itu, kita tetap bebas.

Fear of Negative Evaluation adalah bayangan yang mengikuti langkah setiap manusia sosial. Ia tidak akan hilang, tetapi bisa dijinakkan. Dengan keberanian untuk salah, dengan kerendahan hati untuk belajar, dan dengan keyakinan bahwa harga diri tidak ditentukan oleh tepuk tangan orang lain, kita bisa perlahan keluar dari penjara tak terlihat yang kita bangun sendiri. Karena pada akhirnya, kebebasan sejati bukanlah ketika semua orang menyukai kita, melainkan ketika kita tetap utuh meski dunia menilai kita berbeda.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak