Penjajahan yang dilakukan oleh pihak kolonialisme seperti Belanda, Inggris, Perancis, Spanyol dan negara-negara Eropa lain yang menindas bangsa-bangsa Asia seperti Malaysia, Filipina, dan negara kita Indonesia, telah membuat kemunduran sosial sangat parah, mulai dari segi ekonomi hingga pendidikan.
Penjajahan yang mereka lakukan telah merenggut masa depan negeri yang dijajah dengan cara melakukan pemerasan, penarikan pajak, penguasaan pertanian yang semena-mena hingga adu domba antarpenguasa lokal seperti yang terjadi pada kerajaan Mataram Islam di Indonesia yang terpecah menjadi 2 yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta.
Tak cukup sampai di situ mereka juga merenggut masa depan anak-anak penerus bangsa dengan cara memperdaya mereka dengan pekerjaan-pekerjaan berat dan membatasi mereka dari akses pendidikan.
Hingga akhirnya sebuah novel yang diterbitkan pada abad ke-19 mengubah segalanya. Novel tersebut diberi nama Max Havelaar yang ditulis oleh Multatuli atau Edward Douwes Dekker. Novel tersebut berisi kritik terhadap pemerintah Hindia Belanda akibat kebijakan tanam paksa atau cultuurstelsel yang menyengsarakan rakyat.
Timbullah kesadaran masyarakat Eropa yang menyadari bahwa kekayaan yang mereka dapatkan ternyata berasal dari hasil perampasan dan penderitaan bangsa lain.
Atas kesadaran inilah mulai dibuat kebijakan etis yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda berupa pemberian pendidikan kepada kelas pribumi. Hari-hari dijalankannya politik etis berupa pemberian pendidikan kepada kelas pribumi telah membuka jalan perjuangan bangsa yang lebih berani dan terbuka dalam memperjuangkan hak-hak sosial dan kemerdekaan.
Pada 2 Mei 1889 di Yogyakarta lahir seorang putra bangsa yang kelak akan melanjutkan perjuangan pendidikan bangsa Indonesia. Beliau adalah RM Soewardi Soerjaningrat (SS) atau dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara yang lahir dari keluarga bangsawan Pakualaman.
Kala itu keluarga kerajaan sudah diberi kebebasan oleh Pemerintah Hindia Belanda mengenai kebijakan politik lokal dan akses pendidikan.
Kala itu Soewardi telah merasakan pendidikan di ELS (Europeesche Lagere School) hingga berkesempatan masuk STOVIA (School tot Opleiding voor Inlandsche Artsen). Namun sayang karena kondisi kesehatannya yang tidak mengizinkannya maka ia terpaksa tidak tamat dari STOVIA.
Walaupun sudah banyak pendidikan dengan didirikannya sekolah rakyat, situasi politik kolonial masih dalam kondisi diskriminatif dan membedakan antara kedudukan dan peran antara penjajah dan terjajah. Tentunya hal ini sengaja dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda demi melanggengkan kekuasaan serta menguasai tanah serta harta kaum pribumi.
Diketahui kala itu pemerintah Hindia Belanda pernah hendak mengumpulkan pajak dari rakyat demi menggelar pesta 100 tahun edherland lepas dari Prancis, karena tindakan semena-mena tersebut Ki Hajar Dewantara menuliskan kritik politiknya dengan judul "Als ik een Nedherlander was" (Seandainya aku seorang Belanda), yang kemudian diterjemahkan oleh Abdoel Moeis dalam bahasa Melayu.
Dengan cepat tulisannya merajalela dan dikenal oleh rakyat Indonesia hingga membuat Belanda memutuskan untuk menangkap Ki Hajar Dewantara dan juga rekan perjuangannya yaitu dr. Tjipto Mangunkusumo, dan Douwwes Dekker yang dikenal sebagai tiga serangkai.
Sepulangnya dari pengasingan di Negeri Belanda, Ki Hajar Dewantara masih berencana untuk tetap melanjutkan perjuangannya demi memajukan pendidikan di Negerinya sendiri.
Kala itu Soewardi Soerjaningrat yang sudah berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara berkeinginan untuk memfokuskan dirinya di bidang politik sebagai bentuk upaya memajukan pendidikan bangsa Indonesia. Cara yang ia tempuh adalah dengan mendirikan taman siswa pada Juli 1922 di Yogyakarta.
Dengan berdirinya taman siswa diharapkan kelak sekolah yang bernaung pada lembaga pendidikan ini turut andil dalam hal mencerdaskan pendidikan bangsa, terutama dalam hal pendidikan moral dan budaya.
Terbukti sekolah yang berada dalam naungan Taman Siswa memiliki pola ajar yang berbeda, dimana di Taman Siswa anak-anak lebih ditekankan dalam pendidikan moral dan etika serta pengajaran dalam bahasa ibu dibandingkan bahasa Belanda.
Terlebih lagi dengan ditambahkannya pengajaran budaya lokal menambah nilai tersendiri pada pendidikan taman siswa dibandingkan dengan sekolah Belanda.
Namun apa yang diperjuangkan Ki Hajar Dewantara menemui rintangan, dengan semena-mena pihak Belanda berupaya menghapuskan sekolah mandiri dan melabelinya dengan nama sekolah liar. Hal ini tertuang pada undang-undang yang berisi maklumat penghentian Sekolah Liar yang diterbitkan pemerintah Hindia Belanda.
Tentunya hal ini tidak membuat Ki Hajar Dewantara tidak menyerah begitu saja, ia memperjuangkan taman siswa dengan langkah awal mengumumkan tantangannya terhadap ordonansi lewat telegram kepada Gubernur Jendral de Jonge dengan terus memberikan perlawanan pasif.
Langkah perjuangan Ki Hajar Dewantara didukung dengan berbagai macam bentuk perlawanan dari organisasi dan lembaga lain seperti Partindo, PPPKI, BU dan Muhammadiyah yang sama-sama menekan ditetapkannya undang-undang tersebut.
Perjuangan yang dilakukannya dalam pendirian taman siswa membuahkan hasil dimana pada Februari 1933 de Jonge menetapkan penghentian pelaksanaan ordonansi undang-undang yang berisi maklumat penghentian Sekolah Liar.
Kini taman rakyat yang Ki Hajar Dewantara dirikan dan perjuangkan sukses dalam mencerdaskan putra-putri bangsa dengan semboyannya yang sangat terkenal yaitu :
- ing ngarsa sang tulada ( di muka memberi contoh)
- ing madya mangun karsa (di tengah membangun cita-cita)
- tut wuri handayani (mengikuti dan mendukung)
Semboyan ini diterapkan di semua jenjang pendidikan taman siswa dan diterapkan betul oleh seluruh guru dan siswa-siswi yang diajar.
Semboyan ini pada awalnya adalah perlawanan dari Ki Hajar Dewantara terhadap model pendidikan kolonial, tetapi apa yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara dikenal luas sehingga terjadi berkembangnya Taman Siswa hingga berdirinya 30 cabang Taman Siswa di seluruh Nusantara dari Aceh sampai Ujung Timur.
Pendidikan yang seharusnya menjadi hak semua anak bangsa terkadang justru dijadikan alat untuk membentuk generasi yang tunduk tanpa mempertanyakan kebijakan yang merugikan rakyatnya sendiri.
Sejarah telah mengajarkan bahwa pengetahuan adalah senjata paling ampuh dalam melawan ketidakadilan, dan mereka yang memahami hak-haknya tidak akan mudah ditindas.
Oleh karena itu, upaya untuk menanamkan pola pikir kritis yang selalu mempertanyakan setiap kebijakan atas suatu hal harus tetaplah lestari sebagaimana dahulu Ki Hajar Dewantara memperjuangkan pendidikan bangsa dari pemerintahan yang bertindak semena-mena dan berupaya untuk membodohi rakyat demi kepentingan pribadi berupa kekuasaan dan harta pribadi.
Maka sudah menjadi tugas generasi saat ini menjalankan amanah perjuangan yang Ki Hajar Dewantara lakukan. Jika ada yang ingin menghalangi pendidikan, kita harus melawannya dengan ilmu.
Jika ada yang ingin menguasai bangsa dengan ketidakadilan, kita harus melawannya dengan keberanian. Jika ada yang ingin menjadikan rakyat buta akan kebenaran, maka kita harus menjadi cahaya yang menerangi jalan bagi sesama.
Sebagaimana yang dulu diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara. Pemimpin sejati bukanlah mereka yang menindas rakyatnya, tetapi mereka yang berjalan di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, dan di belakang mendorong kemajuan.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS