Belum tuntas persoalan lama soal abuse of power, publik kini dihadapkan pada RUU KUHAP yang dianggap memperkuat posisi aparat. Kritik tajam bermunculan karena reformasi yang dijanjikan justru dinilai berubah menjadi sekadar omon-omon.
Mengutip dari Suara.com, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Koalisi Masyarakat Sipil menilai ada kontradiksi besar antara janji reformasi dengan isi aturan yang justru memperluas wewenang polisi.
Arif Maulana, selaku Wakil Bidang Advokasi dan Jaringan YLBHI, mengingatkan bahwa tuntutan reformasi kepolisian sudah lama disuarakan karena berbagai kasus abuse of power, mulai dari penyiksaan, salah tangkap, hingga rekayasa perkara yang berulang terjadi. Ia menilai KUHAP justru memperkuat posisi polisi, sementara yang dibutuhkan publik adalah pembatasan kewenangan dan pengawasan yang lebih ketat.
Upaya memperluas kewenangan aparat dalam KUHAP ini pada akhirnya menunjukkan betapa jauh jarak antara janji reformasi dengan kenyataan politik hukum hari ini. Di tengah rentetan kasus penyalahgunaan kekuasaan yang belum pernah benar-benar diselesaikan, langkah ini hanya membuat kepercayaan publik pada penegakan hukum kian rapuh.
Kekhawatiran publik bukan semata soal pasal, tetapi tentang pola yang terus berulang setiap kali perubahan hukum digulirkan tanpa evaluasi serius terhadap kegagalan sebelumnya. Ketika akar persoalan tidak pernah disentuh, setiap revisi aturan hanya menjadi dekorasi baru di panggung yang sama.
Di sisi lain, pemerintah menyebut ada sejumlah pembaruan yang dianggap sebagai langkah maju dalam KUHAP. Syarat penahanan kini dirancang lebih objektif untuk mencegah praktik penahanan sewenang-wenang atau “suka-suka aparat”.
KUHAP juga mewajibkan penggunaan kamera pengawas selama pemeriksaan saksi dan tersangka sebagai upaya mengurangi intimidasi maupun kekerasan. Mekanisme ini diklaim dapat meningkatkan transparansi serta memberikan perlindungan lebih kuat bagi pihak yang diperiksa.
Selain itu, aturan baru ini juga memuat ketentuan khusus untuk melindungi kelompok rentan seperti perempuan, penyandang disabilitas, dan lansia dalam proses hukum. Penekanan ini diharapkan memastikan perlakuan setara sekaligus mencegah tindakan diskriminatif selama penanganan perkara.
Namun deretan perubahan itu tetap tidak serta-merta meredakan kegelisahan publik yang khawatir kewenangan aparat semakin tak terkontrol. Ketika pengawasan diperlemah dan diskresi diperluas, potensi terulangnya penyalahgunaan kekuasaan menjadi bayang-bayang yang sulit diabaikan.
Lebih jauh, jika hukum adalah panggung, maka rakyat seharusnya menjadi penonton yang dilindungi alur ceritanya, bukan justru korban yang berulang kali jatuh di balik tirai. Selama reformasi hanya berhenti pada janji, panggung itu akan terus dikuasai oleh mereka yang memegang sorot lampu tanpa pernah benar-benar diawasi.