Dolar Naik Rp17.000: Ekonomi Tertekan dan Kita Masih Joget-Joget Saja!

Hayuning Ratri Hapsari | Naufal Mamduh
Dolar Naik Rp17.000: Ekonomi Tertekan dan Kita Masih Joget-Joget Saja!
Ilustrasi Dolar Naik (Freepik)

Nilai tukar rupiah kembali memecahkan rekor terburuknya. Pada Minggu (6/4/2025), dolar naik menembus Rp17.059 per dolar AS di pasar non-deliverable forward (NDF). Ini adalah titik terendah sepanjang sejarah modern, bahkan lebih lemah dari posisi terburuk saat pandemi Covid-19 maupun krisis keuangan global sebelumnya.

Namun yang bikin miris, di tengah tekanan ekonomi seperti ini, sebagian dari kita masih bisa tertawa-tawa di media sosial, seolah tak terjadi apa-apa. Pemerintah pun terlihat terlalu tenang, nyaris seperti biasa saja. Kita masih bisa “joget-joget saja” saat ekonomi sedang sesak napas.

Padahal, pelemahan rupiah ini bukan sulap sekejap. Dalam beberapa pekan terakhir, rupiah memang terus tergelincir. Pada 25 Maret 2025, nilai tukar rupiah sudah sempat menyentuh Rp16.640 per dolar, melemah 0,54 persen hanya dalam satu hari. Bahkan tinggal sedikit lagi menyentuh angka legendaris Rp16.800, yang sempat tercatat saat krisis moneter 1998.

Tapi dari sisi kebijakan, belum terlihat respons sepadan. Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa fundamental ekonomi Indonesia masih kuat dan pasar modal sudah mulai pulih.

Sementara Menteri Keuangan Sri Mulyani menekankan bahwa pelemahan rupiah bisa memberikan keuntungan di sisi ekspor, meskipun juga mengakui bahwa inflasi akan menjadi risiko nyata akibat kenaikan harga impor.

Pernyataan seperti itu memang secara teknis tidak salah. Namun dalam situasi seperti ini, masyarakat dan pelaku usaha tidak butuh narasi normatif. Mereka butuh kepastian dan tindakan nyata. Kenaikan dolar ini bukan hanya soal pasar keuangan, tapi soal efek domino ke seluruh aspek ekonomi masyarakat.

Bayangkan jika bahan baku industri yang sebagian besar masih bergantung impor menjadi jauh lebih mahal. UMKM yang tidak punya kekuatan tawar atau kemampuan lindung nilai akan tercekik.

Sektor manufaktur bisa melambat, dan bukan tidak mungkin akan terjadi gelombang PHK jika situasi ini dibiarkan. Di sisi konsumen, harga barang-barang kebutuhan pokok yang mengandung komponen impor akan melonjak. Inflasi bisa meroket. Daya beli masyarakat yang sudah lesu bisa makin tergerus.

Dampaknya tak berhenti di situ. Pemerintah dan swasta yang memiliki utang dalam bentuk dolar akan menghadapi tekanan pembayaran lebih besar. Artinya, akan lebih banyak rupiah yang harus dikeluarkan untuk memenuhi kewajiban yang sama. Situasi fiskal juga bisa jadi makin ketat. Dan yang paling berbahaya: krisis nilai tukar bisa berubah menjadi krisis kepercayaan.

Jika pasar global melihat Indonesia tidak punya rencana darurat, bukan tidak mungkin modal asing akan keluar lebih cepat. Rupiah bisa makin melemah, dan tekanan terhadap stabilitas ekonomi semakin berat.

Kita pernah melewati situasi genting seperti ini: awal pandemi Covid-19. Ketika virus mulai menyebar, justru muncul pernyataan-pernyataan yang meremehkan.

Dikatakan bahwa Covid-19 seperti flu biasa dan orang Indonesia kebal karena cuaca panas. Serta kita punya rempah-rempah untuk melawan Covid-19. Tidak ada tindakan preventif yang maksimal. Akibatnya? Respons lambat, korban jiwa banyak, dan ekonomi anjlok.

Kini sejarah nyaris terulang. Tanda-tanda krisis nilai tukar sudah tampak jelas. Tapi kita terlalu sibuk menyemangati diri dengan narasi “fundamental kita kuat” tanpa rencana nyata untuk meredam dampaknya.

Sudah saatnya pemerintah bertindak cepat dan terbuka. Bank Indonesia perlu memperkuat intervensi di pasar valas dan mengendalikan volatilitas.

Perlu ada langkah untuk menahan devisa hasil ekspor, agar tidak buru-buru keluar dari sistem keuangan domestik. Sektor usaha, terutama UMKM, butuh bantuan dan stimulus untuk bertahan dari tekanan kurs.

Lebih dari itu, komunikasi publik harus diperbaiki. Jangan lagi memberi kesan bahwa semuanya baik-baik saja. Rakyat perlu diberi informasi jujur, bukan hiburan semu. Elite negara harus lebih dulu menunjukkan kepanikan yang terorganisir, bukan sikap adem-ayem yang menyesatkan.

Kita perlu sadar bahwa ini bukan krisis yang bisa dilawan dengan narasi saja. Butuh kerja cepat, sinergi lintas sektor, dan yang paling penting: kesadaran bahwa ekonomi sedang tidak baik-baik saja.

Kalau tidak ada langkah konkret sekarang, jangan kaget kalau sebentar lagi yang terdengar bukan lagi tawa atau joget, tapi jeritan rakyat karena harga-harga naik dan usaha gulung tikar.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak