Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini mengadakan kunjungan diplomatik ke empat negara Timur Tengah dan Turki, membawa misi kemanusiaan untuk Palestina. Tujuan utamanya terdengar mulia—menggalang kekuatan global untuk menghentikan agresi Israel di Jalur Gaza.
Namun, ketika niat baik itu disambut dengan rencana relokasi pengungsi Gaza ke Indonesia, suara-suara kritik pun mulai bermunculan. Dan itu bukan tanpa alasan.
Diperkirakan, Indonesia akan menerima sekitar 1.000 pengungsi Palestina dalam gelombang pertama. Mereka akan tinggal "sementara" di Indonesia sampai kondisi Gaza membaik. Sekilas, ini terlihat sebagai bentuk solidaritas terhadap penderitaan rakyat Palestina.
Tapi pertanyaannya, apakah benar kita sudah siap? Atau ini hanyalah aksi heroik yang belum dipikirkan matang-matang?
Publik mulai bertanya-tanya: Di tengah kondisi dalam negeri yang masih penuh pekerjaan rumah, apakah ini saat yang tepat untuk mengambil tanggung jawab sebesar ini?
Mari kita jujur. Indonesia saat ini bukanlah negeri dongeng yang bebas dari masalah. Angka kemiskinan belum sepenuhnya turun, harga-harga terus naik, pengangguran masih menjadi PR besar, dan layanan publik di banyak wilayah masih jauh dari ideal.
Dalam situasi seperti ini, ketika kesejahteraan rakyat sendiri belum maksimal, langkah membawa ribuan pengungsi dari negara lain tentu mengundang kekhawatiran. Bukan karena rakyat Indonesia tidak punya empati, tapi karena kita tahu bahwa niat baik saja tak cukup—apalagi kalau tidak disertai kesiapan yang matang.
Anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin, dengan tegas menyuarakan kekhawatiran ini. Menurutnya, relokasi pengungsi ke Indonesia bisa membuka peluang bagi Israel dan sekutunya, Amerika Serikat, untuk melegitimasi pendudukan mereka di Gaza.
Dalam bahasa kasarnya: kita secara tidak langsung "mengosongkan lapangan" untuk mereka. Jika pengungsi dipindahkan, siapa yang akan membela hak-hak mereka di tanah airnya?
Hal yang lebih mengkhawatirkan lagi, sampai sekarang belum ada kejelasan mengenai lokasi penampungan para pengungsi, bagaimana mereka akan hidup, siapa yang akan membiayai, hingga bagaimana mereka bisa berintegrasi secara sosial dan budaya.
Belum lagi potensi konflik yang bisa muncul di masyarakat jika kebijakan ini tidak dikelola dengan transparan dan penuh persiapan.
“Apakah para pengungsi nanti akan mendapatkan pekerjaan? Apakah mereka akan hidup layak? Apakah negara punya cukup sumber daya untuk menjamin kesejahteraan mereka?”
Pertanyaan-pertanyaan itu bukan hanya milik segelintir orang, tapi mencuat di berbagai ruang publik. Kita semua tahu, menjadi tuan rumah bukan sekadar membuka pintu, tapi juga harus siap memberi tempat yang layak, perlindungan, dan masa depan.
Sayangnya, langkah Prabowo sejauh ini dinilai terburu-buru. Di mata sebagian masyarakat, ini seperti upaya pencitraan yang ingin terlihat heroik di panggung internasional—padahal belum tentu menguntungkan dalam jangka panjang.
Apalagi mengingat realitas bahwa banyak negara lain, seperti Turki dan Mesir, justru menolak relokasi dengan alasan politik dan pertahanan wilayah. Mereka tahu, menerima pengungsi bukan solusi permanen, justru bisa menjadi jebakan dalam skenario besar yang disusun oleh kekuatan besar dunia.
Niat membantu rakyat Palestina patut diapresiasi, tetapi kebijakan luar negeri tidak boleh mengabaikan realitas dalam negeri. Indonesia memang dikenal dengan tradisi solidaritasnya, namun menerima ribuan pengungsi tanpa persiapan matang justru berisiko menciptakan masalah baru—baik secara ekonomi, sosial, maupun politik.
Jangan sampai, di tengah upaya menjadi pahlawan bagi dunia, pemerintah lupa bahwa tanggung jawab pertama mereka adalah pada rakyat Indonesia sendiri.
Bagaimana pendapat kamu—apakah Indonesia sudah siap menerima pengungsi Gaza, atau sebaiknya fokus memperbaiki masalah dalam negeri terlebih dahulu?
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS