Ada satu momen kecil yang masih terngiang jelas jelas waktu nonton Film Jumbo di bioskop, yakni suara tawa anak-anak dan orang dewasa, celetukan gemas, bahkan tepuk tangan kecil yang muncul saat film selesai. Rasanya semua momen indah itu membuat Film Jumbo begitu spesial, oleh karena berhasil melahirkan pengalaman kolektif yang menyatukan keluarga, sahabat, dan bahkan orang asing yang duduk bersebelahan di gelapnya bioskop.
Film Jumbo resmi mencetak sejarah. Di hari ke-21 penayangannya, film animasi ini sudah ditonton lebih dari 5 juta penonton! Ya, lima juta! Sebuah pencapaian luar biasa yang bukan cuma bikin bangga, tapi juga membuka mata kita lebar-lebar tentang potensi industri animasi di Indonesia.
Nggak hanya menjadi film animasi terlaris sepanjang masa di Indonesia, Film Jumbo juga berhasil menggeser dominasi kawasan dengan menyabet gelar film animasi terlaris se-Asia Tenggara, mengalahkan ‘Frozen 2’, ‘Boboiboy The Movie’, dan ‘Mechamato’. Ini bukan pencapaian yang bisa dianggap enteng lho. Untuk sebuah film yang lahir dari ide orisinal, bukan adaptasi, bukan remake, bukan waralaba yang sudah punya pasar setia, Film Jumbo jelas keajaiban yang dikerjakan dengan kerja keras, kreativitas, dan semangat luar biasa.
Kalau boleh jujur, banyak dari kita dulu sempat skeptis pada animasi lokal. Bukan karena nggak cinta produk dalam negeri, tapi karena realitanya memang belum banyak film animasi Indonesia yang bisa bersaing secara kualitas maupun penerimaan penonton. Tantangan teknis, keterbatasan anggaran, kurangnya promosi, sampai anggapan kalau animasi lokal hanya cocok untuk tayangan televisi, semuanya jadi tembok besar yang sulit ditembus.
Namun, Film Jumbo datang dengan cara berbeda. Film ini nggak minta dimaklumi, tapi (sepertinya) ingin dicintai dan dihargai. Dan hebatnya, penonton menjawab permintaan itu dengan antusiasme yang luar biasa. Bioskop penuh, tiket ludes, media sosial ramai dengan pujian, dan yang paling penting, anak-anak Indonesia punya karakter baru yang bisa mereka banggakan.
‘Jumbo’ hadir bukan cuma sebagai tontonan, tapi sebagai representasi. Karakter-karakternya relatable, ceritanya menyentuh, dan visualnya punya identitas yang khas. Dari desain karakternya yang ekspresif, hingga latar cerita yang berakar pada budaya dan nilai-nilai lokal, semuanya menunjukkan bahwa kita nggak perlu meniru luar negeri untuk bisa tampil membanggakan.
Penting untuk diingat buat Sobat Yoursay, pencapaian ini bukan hasil semalam lho. Di balik animasi yang menghibur itu, ada proses bertahun-tahun yang penuh trial and error. Studio-studio animasi Indonesia seperti yang memproduksi Film Jumbo dan banyak lainnya, sudah lama berjuang untuk membuktikan bahwa mereka punya kemampuan setara, bahkan bisa melampaui standar internasional.
Kerja mereka seringkali sepi sorotan. Namun, hari ini, sorotan itu akhirnya datang. Dan semoga nggak pergi lagi.
‘Jumbo’ membuktikan bahwa dengan dukungan yang tepat, promosi yang konsisten, dan paling penting, cerita yang jujur dan menyentuh, film animasi lokal bisa jadi raja di rumahnya sendiri. Bahkan, bisa menjelajah keluar negeri dan jadi duta budaya yang hidup dan bernyawa.
Pencapaian Film Jumbo harus jadi alarm besar—alarm positif—buat semua pelaku industri film di Indonesia. Bahwa pasar animasi itu nyata dan besar, bahkan penonton Indonesia siap dan mau mendukung karya animasi lokal, selama kualitasnya bisa bersaing. Bahwa kita nggak boleh lagi melihat animasi sebagai “alternatif tontonan anak-anak”, tapi sebagai medium yang kuat, luas, dan penuh kemungkinan.
Bayangkan kalau setelah ini makin banyak studio berani produksi film animasi orisinal. Makin banyak penulis cerita yang fokus bikin kisah animasi yang kuat. Makin banyak pemerintah dan investor yang melirik sektor ini sebagai lahan tumbuh, bukan lahan hiburan sesaat.
Kita butuh lebih banyak JUMBO! Bukan buat mencari uang semata, tapi buat bikin identitas. Biar anak-anak Indonesia punya karakter yang mirip mereka, berbahasa seperti mereka, berjuang dalam dunia yang mereka kenal. Biar budaya kita bisa hidup bukan cuma lewat buku pelajaran, tapi lewat bioskop, layar ponsel, dan merchandise yang mereka bawa kemana-mana.
‘Jumbo’ belum selesai. Masih banyak hari tayang yang tersisa. Masih mungkin untuk film ini melampaui angka 6 juta, bahkan 11 juta penonton! Lebih dari itu, efek dominonya sudah terasa. Film ini akan jadi bahan pembicaraan, jadi rujukan sekolah, jadi inspirasi untuk para animator muda yang selama ini merasa ragu.
Dan buat kita sebagai penonton, saatnya kita sadar bahwa tiket yang kita beli, waktu yang kita luangkan, dan suara yang kita sebarkan di media sosial—itu semua punya dampak. Kita bukan sekadar penonton pasif, kita adalah bagian dari sejarah itu sendiri.
Terima kasih, JUMBO!