Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka baru-baru ini muncul di kanal YouTube pribadinya, membahas soal tantangan masa depan Indonesia—dari perang dagang, geopolitik, sampai perubahan iklim. Tapi yang paling ditegaskan adalah soal “bonus demografi” yang disebutnya sebagai jawaban dari tantangan-tantangan besar itu.
Ia menyebut bahwa pada rentang tahun 2030 hingga 2045, Indonesia akan memiliki sekitar 208 juta penduduk usia produktif. Sebuah angka besar yang oleh Gibran disebut sebagai “kesempatan yang hanya datang sekali dalam sejarah peradaban bangsa.”
Sekilas terdengar optimis. “Yakinlah, peluang kita lebih besar,” katanya. Tapi pertanyaannya: siapa yang dimaksud dengan 'kita'? Dan lebih penting lagi: apa pemerintah sudah benar-benar siap mengelola bonus demografi, atau ini cuma narasi politik semata?
Salah satu kelemahan dari pidato-pidato semacam ini adalah jarangnya ia menyentuh kenyataan. Kita bisa dengan mudah bicara soal “generasi emas” dan “peluang luar biasa” ketika berdiri di depan kamera. Tapi apakah para pengambil kebijakan benar-benar tahu bahwa hari ini, jutaan anak muda di Indonesia tengah berjuang keras untuk sekadar bertahan hidup?
Coba lihat sekeliling. Berapa banyak anak muda yang lulus SMA tapi tidak bisa melanjutkan kuliah karena biaya terlalu mahal? Berapa banyak lulusan sarjana yang akhirnya harus bekerja di luar bidangnya karena lapangan kerja yang sesuai sangat terbatas? Dan berapa banyak dari mereka yang kini terpaksa masuk ke dunia kerja informal—entah jadi ojek online, jualan konten TikTok, atau kerja serabutan—karena tidak ada pilihan lain?
Fakta bahwa anak muda Indonesia masih bergulat dengan problem klasik seperti pendidikan mahal, pengangguran tinggi, dan rendahnya keterampilan kerja seharusnya cukup jadi alarm. Tapi sayangnya, realitas ini jarang masuk dalam narasi besar seperti yang disampaikan Gibran.
Sering kali para pejabat negara menyebut anak muda sebagai aset bangsa. Tapi apa gunanya disebut sebagai aset kalau tak ada investasi serius untuk mereka? Pemerintah seolah lupa bahwa bonus demografi bukan hadiah dari langit, melainkan tantangan yang sangat kompleks.
Hari ini, kita belum punya sistem pendidikan yang inklusif dan adaptif. Pendidikan tinggi masih terlalu mahal bagi banyak kalangan. Program pelatihan kerja atau vokasi masih kerap menjadi formalitas semata—jauh dari kebutuhan industri sesungguhnya.
Di sisi lain, banyak anak muda yang mengalami krisis kepercayaan diri dan identitas karena ekspektasi yang terlalu tinggi dari masyarakat, sementara mereka tidak diberi ruang untuk berkembang. Mereka dijejali narasi tentang menjadi “generasi emas,” tapi pada saat yang sama, mereka terjebak dalam situasi ekonomi yang tidak memberdayakan.
Tak bisa dimungkiri, video monolog Gibran juga terlihat sebagai upaya untuk merebut kembali perhatian publik. Setelah pelantikannya sebagai Wakil Presiden, eksistensinya sempat redup. Program-program seperti Lapor Mas Wapres atau blusukan ke beberapa tempat hanya menciptakan efek sesaat. Setelah itu, kehadirannya dalam ruang publik cenderung pasif.
Kini, lewat video di kanal YouTube, Gibran seolah ingin membangun kembali momentum—dengan memilih isu yang penuh potensi: bonus demografi. Tapi sayangnya, publik saat ini butuh kehadiran nyata, bukan narasi politik semata.
Kalau benar bonus demografi adalah kesempatan emas, maka seharusnya pemerintah mulai menempatkan anak muda sebagai pusat dari semua kebijakan pembangunan. Itu artinya pendidikan gratis dan berkualitas harus jadi prioritas.
Peluang kerja harus diperluas, bukan hanya lewat proyek-proyek mercusuar, tapi lewat dukungan nyata terhadap ekonomi rakyat, UMKM, dan inovasi lokal.
Selama hal-hal itu belum menjadi kenyataan, maka berbicara tentang bonus demografi hanya akan terdengar seperti menjual mimpi dalam kotak kosong. Ia akan tetap jadi komoditas politik, bukan arah kebijakan.
Generasi muda Indonesia bukan alat kampanye, mereka adalah subjek masa depan yang harus diberdayakan hari ini. Jika pemerintah, termasuk Gibran sebagai Wakil Presiden, benar-benar ingin mengubah bonus demografi dari potensi menjadi prestasi, maka waktu untuk bekerja bukan tahun 2030—tetapi sekarang.
Bonus demografi tidak akan menunggu kita siap. Ia datang dengan atau tanpa kesiapan kita. Jika hari ini kita masih sibuk bicara tanpa tindakan, maka jangan salahkan siapa pun ketika “bonus” itu berubah menjadi beban sejarah.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS