Bukan Cuma Salah Bioskop: Saat Kesadaran Kalah Sama Ego Nonton

Hikmawan Firdaus | Athar Farha
Bukan Cuma Salah Bioskop: Saat Kesadaran Kalah Sama Ego Nonton
Foto Hasil Tangkapan Layar Postingan dari Yoursay Penonton Remaja Lengkap dengan Seragam Sekolah yang Viral

Aku masih ingat rasa sesak yang muncul waktu nonton Film Pengepungan di Bukit Duri. Film ini bukan cuma tentang kerusuhan, bukan cuma darah dan teriakan, tapi luka sejarah yang dibungkus rapi dengan sinema. Dan jujur, itu berat. Berat untukku sebagai orang dewasa, apalagi untuk anak-anak dan remaja belasan tahun. Namun ternyata, ada saja yang nekat nonton film ini.

Baru-baru ini viral video remaja (lengkap berseragam sekolah) berbondong-bondong ke bioskop yang akan memutar Film Pengepungan di Bukit Duri. Sebuah film yang jelas-jelas dikasih label “17+” oleh Lembaga Sensor Film (LSF), karena muatan kekerasan dan isu rasial yang bisa memicu trauma. Namun, ya gitu … ada saja orang dewasa yang mikir, “Ah, cuma film kok.”

Nah, di sini masalahnya. Kita hidup di negara di mana budaya sensor mandiri itu masih angin lalu. Label usia dianggap formalitas. Padahal, label itu bukan hiasan—itu peringatan. Namun, sebagian orangtua (dewasa) menganggap hal tersebut wajar, sampai-sampai ada lho yang mengajak nonton bareng, seolah-olah mereka lebih paham daripada psikolog, sensor film, dan pembuat film itu sendiri.

Kalau kita lihat lebih dalam, ini bukan semata soal bioskop lalai, meskipun iya, mereka juga harus tanggung jawab. 

Oke deh, mari jujur: penjaga tiket dan pintu bukan satpam moral. Mereka dibekali SOP, bukan pelatihan menghadapi penonton ngeyel. Mereka bisa menolak, tapi juga bisa kena semprot kalau ada yang marah-marah, bawa-bawa argumen absurd seperti, “Cuma nonton buat hiburan kok!”

Kalau kayak gini terus, siapa yang benar-benar melindungi anak-anak ataupun para remaja?

Come and See Pictures, rumah produksi film ini, sebenarnya sudah berbuat cukup banyak. Mereka kasih trigger warning di media sosial, mereka transparan soal muatan film. Sayangnya ya itu, edukasi publik memang terbatas jangkauannya. Orang-orang yang perlu diedukasi justru seringkali nggak peduli atau merasa "lebih tahu".

Ini bukan masalah satu-dua penonton yang bandel. Ini soal budaya kita yang masih menganggap bioskop tempat bebas semua umur, asal bisa beli tiket. Masih banyak yang menganggap larangan usia itu cuma tempelan, bukan filter penting buat kesehatan mental anak.

Masalah kayak gini seharusnya jadi refleksi bareng, bukan cuma buat pihak bioskop atau PH, tapi buat kita semua—khususnya orangtua (dewasa). Karena, percaya deh, para remaja ataupun anak-anak itu kayak spons. Mereka serap semuanya, bahkan yang kita kira mereka nggak ngerti. Dan trauma, sayangnya, nggak selalu muncul saat itu juga. Kadang dia datang pelan, diam-diam, dan tinggal lama.

Buat bioskop, semoga ini jadi alarm keras buat lebih tegas. Jangan sekadar jadi penjual tiket, tapi juga penjaga etika tontonan. Buat LSF, semoga pemantauan lebih serius ditindaklanjuti, bukan cuma pernyataan normatif.

Dan buat para orangtua—yang semoga suatu hari baca ini—kalau kamu masih mikir rating film itu bisa ditawar, coba tanya ke diri sendiri: Kamu ngajak anak nonton film dewasa atau memperbolehkan para remaja nonton yang nggak sesuai klasifikasi umur, karena yakin dia siap, atau karena kamu saja yang nggak mau repot?

Opini hadir dari sebuah keresahan yang terus terakumulasi sekian lamanya. Jadi, yuk kita sama-sama introspeksi diri. Jaga anak-anak kita dari tontonan yang belum siap mereka tonton. Jangan sampai habis nonton ‘mereka’ mengalami hal yang nggak-nggak. Yuk, bijak memilih tontonan!

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak