Kerja dari mana saja. Tanpa atasan cerewet. Bangun siang, ngopi sambil buka laptop, lalu pindah ke kafe buat lanjut kerja. Kedengarannya seperti mimpi, bukan? Bagi banyak orang, itulah bayangan tentang “kebebasan” dalam bekerja lepas. Apalagi di era digital sekarang, kita disuguhi cerita-cerita orang yang resign dari kantor demi jadi freelancer sukses. Katanya, lebih fleksibel, lebih merdeka, lebih bisa “jadi diri sendiri”.
Tapi, tunggu dulu. Di balik layar laptop yang terlihat santai itu, benarkah semua pekerja lepas benar-benar bebas? Atau jangan-jangan, kebebasan itu hanya bungkus manis dari sebuah sistem kerja yang sebenarnya tak pasti?
Fleksibel tapi Rentan
Di Indonesia, pekerjaan lepas tumbuh subur. Dari ojek dan kurir online, penulis konten, desainer grafis, penerjemah, hingga pekerja kreatif dan digital marketing. Semuanya kini bisa disebut bagian dari gig economy. Menurut riset INDEF, hingga 2023 Indonesia termasuk salah satu negara dengan freelancer terbanyak ketiga di dunia, dengan lebih dari 33 juta orang terlibat dalam sistem kerja fleksibel ini.
Tapi jangan buru-buru kagum. Sebab, dari angka sebesar itu, sebagian besar pekerja gig tidak memiliki kontrak kerja formal, bahkan tidak terdaftar di jaminan sosial seperti BPJS Ketenagakerjaan. Data dari Katadata Insight Center (2022) menunjukkan bahwa lebih dari 65% pekerja lepas tidak punya perlindungan apa pun jika sakit atau kecelakaan kerja.
“Fleksibel” jadi kata kunci yang sering dipromosikan. Tapi fleksibel untuk siapa? Fleksibel bagi perusahaan atau platform digital, karena mereka tak perlu repot menggaji tetap atau memberi tunjangan. Sementara di sisi pekerja, fleksibilitas sering kali berubah jadi ketidakpastian penghasilan dan jam kerja yang tak menentu.
Ambil contoh ojek online. Gampangnya, penghasilan ditentukan oleh order. Makin banyak ngebut, makin besar pendapatan. Tapi saat hujan deras, jalan macet, atau order sepi? Gaji bisa jeblok. Menurut laporan World Bank (2022), penghasilan rata-rata pengemudi ojek online hanya berkisar Rp3–4 juta per bulan dan itu pun sangat fluktuatif.
Cerita lain datang dari seorang freelance desain grafis di Bandung, seperti ditulis dalam laporan Tirto.id. Ia mengaku harus “bidding” di lebih dari 10 proyek tiap minggu hanya untuk mendapatkan satu pekerjaan dan sering kali harus menunggu lama untuk pembayaran. Bahkan pernah dibayar dua bulan setelah proyek selesai.
Lalu siapa yang menanggung ketidakpastian ini? Bukan klien, bukan platform. Tentu saja si pekerja itu sendiri.
Kebebasan yang Semu?
Di permukaan, pekerja gig tampak seperti mandiri. Tidak terikat kontrak, tidak punya atasan, bisa menentukan jadwal sendiri. Tapi kenyataannya, banyak dari mereka justru terjebak dalam sistem yang dikendalikan oleh algoritma, rating pengguna, dan aturan sepihak dari platform.
Pekerja ojek misalnya, harus mengejar target harian demi insentif. Tidak jarang mereka bekerja lebih dari 10 jam per hari, seperti dicatat ILO (2021), dengan tekanan mental akibat rating rendah, order sepi, atau potongan biaya layanan yang berubah sewaktu-waktu. Dan yang lebih ironis lagi, tidak ada jaminan masa depan. Tidak ada pensiun, tidak ada THR, tidak ada cuti sakit. Mereka bebas, ya. Tapi juga sendirian dalam menghadapi risiko.
Banyak yang bilang gig economy membuka peluang, terutama bagi mereka yang sulit masuk kerja formal. Tapi penting dicatat bahwa tak sedikit yang masuk ke pekerjaan ini bukan karena memilih, melainkan karena tak ada pilihan lain. Pasar kerja yang makin ketat, minimnya lowongan tetap, dan biaya hidup yang terus naik mendorong orang untuk menerima jenis pekerjaan apa saja. Termasuk pekerjaan tanpa kontrak, tanpa jaminan, dan tanpa kepastian.
Di sinilah muncul pertanyaan penting, apakah kita sedang mempromosikan “kebebasan” kerja, atau menormalisasi kerja tanpa perlindungan?
Mari Kita Bicara Jujur
Tidak semua pekerja lepas sengsara, tentu saja. Ada yang sukses, berkembang, bahkan bisa hidup lebih sejahtera daripada kerja kantoran. Tapi cerita sukses ini sebaiknya tidak dijadikan pembenaran untuk menutup mata pada kerentanan struktural yang dihadapi mayoritas pekerja gig.
Sebab, ketika sistem hanya mengandalkan fleksibilitas tanpa perlindungan, maka yang terjadi bukan pembebasan. Melainkan pengalihan risiko dari perusahaan kepada individu.
Kita hidup di zaman yang menyukai cerita-cerita sukses yang instan. “Dari freelance jadi jutawan.” “Keluar dari kantor, jadi content creator.” Tapi jarang ada yang bicara soal ketidakpastian yang tak terlihat, tekanan yang tak tertulis, dan keringat yang tak dihitung sebagai jam kerja. Mungkin sudah waktunya kita tidak sekadar memuji fleksibilitas, tapi juga bertanya, siapa yang menanggung harga dari kebebasan ini?
Sebab, kerja bukan cuma soal waktu luang atau kebebasan tempat. Ia juga soal jaminan hidup layak, keberlanjutan, dan hak untuk merasa aman sebagai pekerja baik di kantor, di jalan, atau di balik layar laptop.