Di bawah langit yang terbuka, di atas aliran Sungai Kuantan yang tak henti mengalir, dentuman gendang dan sorak-sorai menggema dalam irama yang sama: Pacu Jalur kembali hadir. Bukan sekadar lomba perahu panjang yang mendebarkan, tetapi sebuah ritual sosial, pesta kolektif, dan refleksi mendalam dari nilai-nilai luhur yang mendarah daging dalam nadi masyarakat Kuantan Singingi. Dari hulu ke hilir, dari dusun di pinggir sungai hingga ke desa-desa yang jauh dari tepian air, semangat "jalur" menyatukan hati dan langkah, menjadi tali pengikat yang lebih kuat dari sekadar air dan tanah.
Pacu Jalur adalah denyut kolektif masyarakat. Ia bukan lahir dari perintah atau proyek, melainkan dari rasa. Dari rasa memiliki, rasa mencintai, dan rasa ingin menjaga yang diwariskan turun-temurun. Di balik kemeriahan pacu, tersimpan nilai yang tak bisa dilihat sekilas mata: semangat gotong royong yang tak pudar, musyawarah yang tak lekang oleh zaman, dan kebanggaan akan marwah kampung yang menjadi jiwa bagi setiap jalur yang dibangun.
Gotong royong bukan hanya slogan dalam konteks Pacu Jalur. Ia adalah ruh yang membuat setiap jalur berdiri, terapung, dan melaju. Proses pembuatan jalur tidaklah instan. Ia melibatkan banyak kepala, tangan, dan niat baik. Dari mencari pohon kayu pilihan di hutan, memotongnya, mengangkutnya ke desa, hingga mengukir dan membentuknya menjadi perahu panjang semua dilakukan secara kolektif, tanpa upah, tanpa pamrih. Semua dilakukan karena satu tekad: menjaga kebanggaan desa. Tak ada hierarki, tak ada kasta. Anak muda, orang tua, tokoh adat, pemuda rantau, semuanya kembali ke kampung jika sebuah jalur hendak dibuat. Itulah makna gotong royong yang sesungguhnya berbuat bersama karena cinta pada yang sama.
Tidak ada jalur yang bisa berdiri tanpa musyawarah. Dari pemilihan nama jalur, warna, hiasan, hingga siapa yang akan menjadi joki atau pawang, semuanya dibahas bersama. Musyawarah menjadi alat demokrasi adat yang sudah lebih dulu hidup jauh sebelum sistem pemilihan modern kita kenal. Di balai desa, di lapau kopi, di surau, diskusi terjadi tanpa batas waktu. Bukan soal menang atau kalah, tetapi tentang kehormatan, keadilan, dan rasa hormat. Dalam musyawarah jalur, suara tua dan muda sama pentingnya, karena yang sedang dirancang bukan sekadar strategi pacu, tetapi representasi marwah kampung.
Dan marwah itulah yang membuat setiap desa berlomba bukan hanya untuk cepat, tapi untuk terlihat utuh sebagai sebuah komunitas. Jalur bukan cuma perahu, ia adalah lambang harga diri. Maka tak mengherankan jika jalur diberi nama-nama puitis penuh makna seperti "Pendekar Mudo", atau "Selendang Putie Bukit Keramat" karena ia bukan sekadar kayu dan cat, tetapi semangat dan doa. Setiap kali sebuah jalur turun ke sungai, ia membawa seluruh mimpi desa. Maka jika jalur menang, seluruh kampung bergembira. Jika kalah, seluruh kampung merenung. Tapi tak satu pun berhenti. Karena menang dan kalah bukan akhir, menjaga jalur adalah tujuan utama.
Menariknya, fenomena Pacu Jalur kini meluas. Dulu, hanya desa-desa yang berada di tepi Sungai Kuantan yang memiliki jalur, karena dari sanalah pacu bisa dilakukan. Namun, sekarang, desa-desa yang jauh dari sungai pun mulai memiliki jalur sendiri. Mereka mungkin tak punya sungai untuk menjajalnya setiap hari, tapi mereka punya tekad yang sama kuatnya: tekad untuk menjaga tradisi. Ini bukan hanya soal akses terhadap sungai, tetapi soal rasa memiliki yang menembus batas geografis. Jalur telah menjelma menjadi identitas. Ia bukan lagi milik tepi sungai saja, tetapi milik seluruh masyarakat Kuantan Singingi.
Tradisi ini begitu kuat, hingga lahirlah pepatah baru yang menjadi semacam semboyan tak resmi masyarakat: “Jan baronti hituang jalur” yang berarti, jangan berhenti membicarakan jalur. Ungkapan ini bukan basa-basi. Ia menunjukkan betapa dalamnya ikatan batin masyarakat terhadap jalur. Bahkan ketika musim pacu selesai, pembicaraan tentang jalur tetap hidup. Jalur menjadi bahan cerita di kedai kopi, di acara keluarga, di perantauan, hingga di media sosial. Jalur menjadi cerita rakyat modern yang terus bertumbuh, berubah, dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Salah satu bentuk paling menyentuh dari semangat menjaga eksistensi ini adalah munculnya Pacu Jalur Miniatur, yang dimainkan oleh anak-anak hingga dewasa. Di pinggir-pinggir parit, sungai kecil, atau bahkan di halaman rumah saat musim hujan, anak-anak membangun jalur dari kayu, potongan bambu, atau papan bekas. Mereka menghiasnya, memberi nama, dan membawanya "berlomba" seperti layaknya pacu jalur sungguhan. Pemandangan ini bukan sekadar permainan, tetapi upaya kecil yang penuh makna untuk menjaga warisan budaya. Mereka belum cukup umur untuk mendayung jalur besar di Sungai Kuantan, tapi mereka sudah cukup cinta untuk merawat tradisi dengan cara mereka sendiri.
Ada keharuan yang tak bisa dijelaskan saat melihat bocah-bocah itu berteriak semangat, mendorong jalur kecilnya di aliran air. Mereka menirukan gaya joki, menyanyikan lagu penyemangat, dan berdiri penuh percaya diri seperti para pahlawan kampung. Mereka tidak tahu istilah pelestarian budaya, tapi mereka sedang melakukannya. Mereka tidak bicara tentang identitas kolektif, tapi mereka sedang membentuknya. Pacu Jalur telah menjadi bagian dari proses tumbuh dan hidup mereka.
Fenomena ini penting untuk direnungkan, terlebih di zaman ketika banyak tradisi lokal tercerabut oleh modernisasi yang tak memberi ruang bagi akar budaya. Ketika sebagian masyarakat mengejar festival luar negeri, masyarakat Kuantan Singingi merawat festival yang lahir dari tanah sendiri. Ketika banyak daerah sibuk memoles budaya demi turisme, masyarakat di sini tetap menjadikan Pacu Jalur sebagai pesta rakyat yang hidup dari bawah, bukan dari atas. Kemeriahan pacu jalur bukanlah hasil dari viralnya media sosial semata, melainkan karena ia memang telah menjadi denyut kehidupan sehari-hari jauh sebelum dunia digital menyentuh desa.
Pacu Jalur bukan sekadar lomba. Ia adalah proses kolektif dari membangun, menjaga, dan mencintai. Ia menyatukan pemuda dan ninik mamak, laki-laki dan perempuan, tua dan muda, perantau dan warga kampung. Ia menjadi panggung di mana desa tak hanya menunjukkan kecepatannya, tapi juga keteguhannya menjaga tradisi. Dalam konteks sosial-politik hari ini, Pacu Jalur adalah oase. Di tengah individualisme yang tumbuh, ia hadir sebagai pengingat bahwa ada hal-hal yang hanya bisa dilakukan bersama. Bahwa ada kebanggaan yang tumbuh bukan dari kepemilikan pribadi, tapi dari prestasi kolektif.
Dalam hiruk-pikuk festival modern, banyak tradisi lokal kehilangan makna karena hanya dijadikan tontonan. Tapi Pacu Jalur tidak demikian. Ia bukan tontonan, ia adalah kehidupan. Setiap jalur membawa kisah, setiap dentuman gendang adalah getar harapan, setiap tetes keringat pendayung adalah tanda cinta. Maka, wajar jika masyarakatnya tak pernah lelah menjaga. Karena yang dijaga bukan sekadar warisan, tetapi bagian dari diri mereka sendiri.
Di balik dentuman dan sorakan, ada harapan agar tradisi ini tidak hanya dirayakan setahun sekali, tetapi dipahami maknanya setiap hari. Bahwa Pacu Jalur bukan milik masa lalu, tapi jembatan menuju masa depan. Bahwa yang membuatnya hidup bukan hanya lombanya, tetapi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya: gotong royong, musyawarah, dan kebanggaan kolektif atas marwah kampung. Nilai-nilai inilah yang kini menjadi barang langka di tengah zaman yang serba cepat dan serba sendiri.
Dan jika suatu hari nanti jalur tak lagi melaju di Sungai Kuantan, maka generasi yang masih menyebut "jan baronti hituang jalur" akan tetap menyimpannya dalam ingatan. Akan tetap menceritakannya pada anak-anaknya. Akan tetap membuat miniatur dari papan bekas. Karena yang namanya tradisi, jika telah menjadi darah dan jiwa, tak akan pernah benar-benar hilang. Ia akan tetap hidup, selama ada yang mencintainya.