Psikolog Masuk Sekolah: Kebutuhan Mendesak atau Sekadar Wacana?

Hayuning Ratri Hapsari | Rial Roja Saputra
Psikolog Masuk Sekolah: Kebutuhan Mendesak atau Sekadar Wacana?
Ilustrasi guru mengajar. (Pixabay/aditiotantra)

Coba kita bayangkan sejenak kehidupan seorang siswa hari ini. Pagi hari sudah berjibaku dengan rumus matematika yang rumit, siang hari harus menghadapi drama pertemanan yang menguras emosi, dan malam hari masih dibayangi oleh tugas serta ekspektasi orang tua.

Lingkaran ini berputar setiap hari. Di tengah tekanan yang begitu berlapis, gagasan untuk menempatkan psikolog di setiap sekolah kembali mengemuka. Namun, sering kali ide ini berhenti sebagai sebuah wacana indah yang sulit diwujudkan.

Pertanyaannya, apakah psikolog sekolah adalah sebuah kemewahan, atau sudah menjadi kebutuhan fundamental yang tidak bisa ditawar lagi? Jawabannya mungkin lebih kompleks, karena ini bukan hanya tentang menyediakan ruangan konseling, tetapi tentang merombak cara kita memandang kesehatan mental di dunia pendidikan.

Bukan Sekadar Ruang BK yang Menakutkan

Selama ini, citra konselor di sekolah, atau Guru Bimbingan Konseling (BK), sering kali kurang bersahabat. Ruang BK identik sebagai tempat bagi siswa-siswa yang dianggap bermasalah, nakal, atau yang nilainya anjlok. Stigma ini membuat siswa yang benar-benar butuh bantuan justru enggan datang karena takut dicap negatif.

Di sinilah peran psikolog profesional menjadi pembeda yang signifikan. Psikolog tidak hanya berurusan dengan masalah kedisiplinan, tetapi lebih dalam lagi, mereka dilatih untuk memahami perkembangan emosi, kognitif, dan sosial anak serta remaja.

Kehadiran mereka bukan untuk menciptakan satu lagi ruang interogasi, melainkan untuk membangun sebuah sistem pendukung yang aman dan mudah diakses oleh siapa pun, bahkan oleh siswa yang kelihatannya baik-baik saja.

Psikolog sebagai Arsitek Ekosistem Sekolah

Inilah gagasan barunya. Daripada memposisikan psikolog sebagai petugas pemadam kebakaran yang baru datang setelah masalah membesar, mari kita lihat mereka sebagai arsitek ekosistem sekolah.

Seorang arsitek tidak hanya memperbaiki dinding yang retak, tetapi merancang seluruh bangunan agar nyaman, fungsional, dan aman bagi penghuninya. Dalam konteks sekolah, psikolog dapat merancang program proaktif yang melibatkan tiga pilar utama yaitu siswa, guru, dan orang tua.

Bagi siswa, psikolog bisa mengadakan lokakarya tentang manajemen stres, kecerdasan emosional, cara mengatasi perundungan, hingga bimbingan minat dan bakat yang berbasis data psikologis.

Bagi guru, psikolog bisa memberikan pelatihan untuk mendeteksi tanda-tanda depresi pada siswa, strategi menghadapi kelas yang sulit, serta cara mengelola stres dan mencegah kelelahan kerja atau burnout yang rentan dialami para pendidik.

Bagi orang tua, psikolog dapat menjadi jembatan komunikasi dengan sekolah, mengadakan seminar tentang pola asuh yang relevan di era digital, dan membantu orang tua memahami tekanan yang dihadapi anak-anak mereka. Dengan pendekatan ini, psikolog menjadi simpul yang menguatkan seluruh komunitas sekolah.

Menggeser Paradigma dari Reaktif menjadi Proaktif

Kehadiran psikolog memungkinkan sekolah mengubah pendekatannya secara fundamental. Model reaktif yang selama ini berjalan hanya menunggu masalah muncul ke permukaan. Nilai siswa turun drastis, baru dicari penyebabnya. Terjadi perkelahian, baru dipanggil untuk mediasi. Model ini sangat tidak efisien dan sering kali terlambat.

Sebaliknya, model proaktif yang didesain oleh psikolog bertujuan untuk pencegahan. Program seperti well-being check-in secara berkala, integrasi materi kesehatan mental ke dalam mata pelajaran, atau pembentukan kelompok dukungan sebaya adalah contoh nyata pendekatan proaktif.

Dengan cara ini, potensi masalah bisa dideteksi dan diatasi sejak dini, sebelum berkembang menjadi krisis yang lebih besar dan merusak.

Menjawab Tantangan Realistis dengan Solusi Kreatif

Tentu saja, gagasan ini dihadapkan pada tantangan nyata, terutama soal biaya dan ketersediaan sumber daya manusia. Tidak semua sekolah memiliki anggaran untuk merekrut psikolog secara purnawaktu. Jumlah psikolog pendidikan di Indonesia pun masih terbatas.

Di sinilah kita perlu berpikir kreatif. Solusinya tidak harus kaku satu sekolah satu psikolog. Bisa saja diterapkan model hub psikologi, di mana satu tim psikolog melayani beberapa sekolah dalam satu wilayah atau kecamatan.

Mereka bisa memiliki jadwal kunjungan rutin ke setiap sekolah dan menyediakan layanan tele-konseling untuk kasus-kasus yang membutuhkan penanganan cepat. Skema kemitraan dengan universitas atau subsidi silang dari sekolah-sekolah yang lebih mapan juga bisa menjadi alternatif.

Pada akhirnya, menempatkan psikolog di sekolah jauh dari sekadar wacana. Ini adalah investasi jangka panjang untuk menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga tangguh secara mental dan emosional.

Ini bukan lagi tentang apakah kita membutuhkannya, tetapi tentang bagaimana kita mewujudkannya dengan cara yang paling efektif dan efisien. Sudah saatnya kita berhenti memadamkan api dan mulai membangun institusi pendidikan yang tahan api dari dalam.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak