Bekerja keras memang menjadi salah satu hal yang sering dilakukan oleh sebagian orang, terutama bagi mereka yang masih muda. Istilah ‘hustle culture’ ini merujuk pada rasa semangat kerja tanpa henti yang menjadi trend hingga membawa masalah serius dalam Kesehatan mental seseorang.
Hustle culture merupakan sebuah pola pikir dan gaya hidup di mana seseorang terus bekerja, mengejar target, dan merasa tidak pernah cukup berbuat banyak. Istilah kata "grind 24/7" atau "sleep is for the weak" mencerminkan bagaimana budaya ini mengukur nilai seseorang berdasarkan produktivitas dan pencapaian karier. Istirahat dianggap suatu kelemahan, dan waktu luang dianggap pemborosan.
Fenomena ini tak lepas dari kemajuan teknologi yang membuat pekerjaan bisa dilakukan di mana saja, kapan saja. Work-life balance menjadi kabur karena batas antara jam kerja dan waktu pribadi sudah tidak jelas. Bahkan, banyak pekerja muda merasa bersalah jika tidak memanfaatkan setiap detik untuk "berkembang", belajar, atau menambah pemasukan.
Gen Z, Dunia Kerja Hingga Masalah Hustle Culture
Gen Z, menjadi sebutan bagi anak muda yang lahir di antara rentang tahun 1997–2012, tumbuh di tengah perkembangan internet, media sosial, dan perubahan dunia kerja yang sangat cepat. Mereka menyaksikan dampak krisis ekonomi global, pandemi, dan kemajuan teknologi yang merevolusi cara kerja tradisional. Dengan semangat inovatif dan keinginan untuk menjadi mandiri secara finansial, Gen Z terlihat sangat siap masuk ke dunia kerja dengan penuh antusias.
Namun, semangat itu datang dengan beban. Banyak anak muda Gen Z merasa terjebak dalam hustle culture. Mereka merasa dituntut untuk selalu tampil produktif, kreatif, dan sukses di usia muda. Tak jarang, ini menimbulkan tekanan mental dan emosional yang besar.
Bahkan ada beberapa hal yang mempengaruhi seseorang melakukan gila kerja tanpa pandang waktu, yaitu ingin cepat sukses dan mandiri secara finansial sejak dini, merasa tertinggal dengan teman-temannya, kondisi ekonomi dan ketidakpastian masa depan, takut akan kegagalan, selalu membandingkan diri dengan orang lain hingga masalah kepercayaan diri seseorang.
Dampak Hustle Culture Terhadap Kesehatan Mental
Meski hustle culture memberi dorongan untuk bekerja keras, namun efek jangka panjangnya bisa merugikan. Banyak anak muda Gen Z yang mengalami burnout, kelelahan mental, kecemasan, bahkan kehilangan makna dalam bekerja. Ironisnya, mereka sering tidak menyadari bahwa sedang berada dalam kondisi ini, karena kelelahan dianggap sebagai bagian dari proses menuju sukses.
Beberapa tanda bahwa hustle culture sudah melewati batas sehat antara lain seperti merasa bersalah Ketika istirahat, sulit tidur karena terus berpikir pekerjaan, mengabaikan Kesehatan fisik dan mental demi terlihat produktif hingga menyebabkan stress dan depresi yang tinggi.
Bahkan menyeramkannya lagi, pola kerja dengan istirahat yang kurang juga bisa mengakibatkan serangan jantung hingga stroke. Maka dari itu, istirahat dan meditasi sejenak menghilangkan beban pikiran pun sangat diperlukan untuk hidup yang lebih lama.
Di tengah gempuran hustle culture dan tuntutan media sosial, Gen Z perlu menciptakan definisi sukses yang lebih sehat dan manusiawi. Sukses bukan hanya tentang karier yang melejit atau gaji besar, tapi juga tentang bisa tidur nyenyak, punya hubungan yang hangat, dan menikmati hidup tanpa tekanan berlebihan.
Mungkin kini saatnya mengubah slogan “work hard, no days off” menjadi “work smart, rest well.” Karena pada akhirnya, hidup bukanlah kompetisi tanpa garis akhir, tapi perjalanan panjang yang patut dinikmati dengan selangkah demi selangkah.