Membongkar Sesat Pikir: Ikhlas Demi Surga Bukan Alasan Menggampangkan Hak Guru

Bimo Aria Fundrika | Oktavia Ningrum
Membongkar Sesat Pikir: Ikhlas Demi Surga Bukan Alasan Menggampangkan Hak Guru
Ilustrasi Pendidikan Indonesia (Unsplash/Husniati Salma)

Indonesia punya mimpi besar: menjadi negara maju di tahun 2045, atau yang sering disebut Indonesia Emas. Namun, pertanyaannya sederhana: siapa yang akan mencetak generasi emas itu? Jawabannya jelas, guru

Pendidikan yang baik adalah fondasi kemajuan negara. Dan kunci dari pendidikan yang baik adalah guru yang berkualitas.

Tapi mari jujur, di Indonesia profesi guru masih jauh dari kata sejahtera. Sulit sekali bagi pemerintah untuk memahami logika sederhana ini. Guru sejahtera, pendidikan berkualitas, indonesia maju.

Kenapa Banyak yang Enggan Jadi Guru?

Coba tanyakan ke mahasiswa berprestasi atau lulusan universitas ternama: mau jadi guru? Jawabannya seringkali ragu-ragu, kalau bukan langsung “tidak”.

Bukan karena mereka tidak peduli pada pendidikan. Bukan juga karena mereka tidak punya kemampuan mengajar. Tapi karena satu hal: kesejahteraan.

Masih banyak guru di Indonesia yang digaji hanya ratusan ribu rupiah per bulan, bahkan untuk pekerjaan penuh waktu. Angka ini jelas tidak cukup untuk hidup layak, apalagi di kota besar.

Padahal, gaji adalah salah satu faktor penting yang mempengaruhi motivasi kerja. Ketika seseorang merasa hasil kerjanya sepadan dengan imbalan yang diterima, semangat dan dedikasinya akan meningkat.

Coba bandingkan dengan pekerjaan kasar di luar sana. Di sana, saya bertemu banyak orang Indonesia yang meninggalkan pekerjaan kantoran di tanah air, bahkan dari posisi yang sudah cukup tinggi, untuk bekerja kasar seperti mencuci piring, memetik buah, atau menjadi pelayan restoran.

Alasannya sederhana: gaji tinggi. Pekerjaan tersebut bisa menghasilkan tabungan hingga 10–20 juta rupiah per bulan. Orang mau melakukan pekerjaan apapun, meski tidak sesuai passion, jika penghasilannya layak. Lalu bagaimana dengan profesi guru di Indonesia, yang memikul tanggung jawab membentuk masa depan bangsa?

Pendidikan Butuh Investasi Serius

Indonesia sudah menetapkan 20% APBN untuk pendidikan. Namun, jika porsi ini masih belum cukup untuk meningkatkan kesejahteraan guru, bukankah seharusnya ada penyesuaian?

Potong anggaran untuk hal-hal yang kurang mendesak, lalu alokasikan ke sektor pendidikan. Karena tanpa guru yang sejahtera, mustahil kita mendapatkan pendidikan yang berkualitas.

Bayangkan jika profesi guru punya prestise setara dengan dokter atau insinyur. Lulusan universitas terbaik, pemenang olimpiade, dan para intelektual muda akan bersaing ketat untuk menjadi guru. Barrier of entry yang tinggi ini akan melahirkan guru-guru hebat yang memang layak berada di kelas.

Menghentikan Rantai Ironi: Guru Sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

Kesejahteraan bukan hanya soal gaji, tapi juga penghargaan terhadap profesi. Ketika guru dihormati secara sosial dan ekonomi, orang akan bangga memilih jalan ini.

Negara-negara dengan sistem pendidikan terbaik, seperti Finlandia, Korea Selatan, atau Singapura, memahami hal ini. Mereka menjadikan guru sebagai salah satu profesi paling bergengsi, dan itu terbukti berhasil mencetak SDM unggul.

Ironisnya, lulusan jurusan pendidikan di Indonesia kerap menjadi “orang miskin baru” karena gaji guru tidak menutup biaya hidup. Banyak yang akhirnya memilih profesi lain, meski hati mereka tertambat pada dunia pendidikan.

Jika kita ingin Indonesia Emas bukan sekadar slogan, perbaikan kualitas guru adalah langkah pertama yang tak bisa ditawar. Dan itu berarti memastikan setiap guru bisa hidup layak dari profesinya, bukan sekadar bertahan.

Guru yang sejahtera akan mengajar dengan hati. Guru yang dihargai akan memacu muridnya untuk berprestasi. Dan guru yang hebat akan melahirkan generasi emas yang kita impikan bersama. Karena pada akhirnya, masa depan Indonesia ada di tangan para guru. Pertanyaannya: beranikah kita memberi mereka tempat yang layak?

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak