Tiga belas hari, serasa berbulan-bulan, dirinya dilanda kecemasan dan kesedihan yang tak berkesudahan. Perempuan berbibir tipis dan kering itu berjalan menyusuri jalur-jalur hutan pohon karet yang belum pernah ditapaki.
Dia meyakini sang suami berada di selatan hutan: Dataran Larangan, yang sejak tiga hari lalu bertengger dan terus berulang-ulang di dalam mimpinya. Kali pertama memimpikannya, terasa biasa saja. Kali kedua, gundah juga kesedihan mulai bergumul dan berseteru di dalam hati. Kali ketiga, situasi yang terlihat semakin tampak nyata.
Kala semburat senja yang perlahan dilumat petang, magrib berselimut kabut, gelap yang semakin lahap menguasai belahan desa, dia berpacu dengan waktu menuju lokasi di dalam mimpinya. Dia tidak bodoh, juga bukan sok jadi pemberani, hanya saja keluarga dan orang-orang di sekitarnya tidak memercayai mimpi yang dia ceritakan.
Semburan bunyi kersak-kersak terdengar tatkala telapak kakinya, yang tak beralas kaki, berkali-kali menginjak daun-daun kering. Sejenak dia berhenti di depan jalur tanah berundak-undak, menghirup napas dalam-dalam untuk mengisi paru-paru sekaligus melepas lelah setelah lebih dari setengah jam berjalan tanpa henti.
Azan magrib berkumandang. Dia mengedarkan pandang. Keadaan yang redup jadi semakin meredup. Dia mencebik, kesal dan merasa bego karena lupa tidak membawa penerang, juga menyesal telah nekat ke dalam Hutan Sandekala di saat yang tidak tepat. Seharusnya, jika tadi siang dia tidak menghabiskan banyak waktunya untuk meyakinkan keluarga dan penduduk sekitar rumah, dia tidak mungkin menyusuri hutan menjelang waktu transisi makhluk-makhluk gaib berseliweran. Namun, rasanya tidak mungkin baginya berpaling dari petunjuk mimpi sang suami di saat orang-orang apatis.
Dia mulai menjejak undakan demi undakan. Setibanya di dataran yang dipenuhi ilalang setinggi lutut dan pohon-pohon tinggi yang menancap di tanah tak beraturan, dia kembali mengatur napas, dadanya kembang-kempis. Sesaat dia mengusap keningnya dengan punggung telapak tangan, dan seketika merasakan basah juga lengket akibat keringat yang keluar dari pori-pori kulit. Sebulir keringat lepas dari jangkauan, mengalir dari depan daun telinga menuju rahangnya yang juga basah oleh keringat.
Tidak akan terjadi apa-apa, tak mungkin ada makhluk gaib yang berani menyerang karena nyalinya yang mampu meredam ketakutan, pikirnya begitu. Kendatipun dia tahu betul di dalam hutan ada spesies macan kumbang, yang bisa kapan saja menghadangnya, atau barangkali sedang mengendap-endap mencuri langkahnya di balik pohon yang tak terjamah oleh pandangan matanya.
Magrib terlewati, dia belum sampai di lokasi itu. Kali ini langkahnya cepat-cepat. Biarpun telah gelap, tetapi penglihatannya telah beradaptasi, juga karena adanya pendar bulan purnama yang memancarkan cahaya putih gading menembus kabut. Dia menyibak ilalang. Sekujur tungkai yang tak terlindungi terkena amukan daun-daun ilalang yang agak tajam menyayat kulit, sehingga menimbulkan sensasi perih dan gatal—roknya di atas lutut.
Saking ingin cepat sampai dan merasa jalur yang dilaluinya aman-aman saja, dia lupa memperhatikan langkahnya, sehingga kakinya terantuk batu. Dia tersungkur dan terbenam ilalang yang menjulang. Detik demi detik dalam rintih kesakitan, dia berusaha bangkit seraya mengerang menahan sakit. Namun, mendadak dia mematung dengan mata membeliak karena mendengar anjing-anjing hutan menyalak.
Gonggongan anjing yang tak beraturan itu berasal dari arah tenggara, tetapi tidak ada tanda-tanda mendekat, justru terdengar seperti kawanan yang saling menyalak dalam pertarungan antarspesies karena dia pun mendengar bunyi aum macan. Dia menggeleng, tidak ingin terjebak lebih lama lagi di dalam hutan. Dengan sisa tenaga, dia melangkah lagi.
Suara anjing dan macan masih terdengar jelas, padahal dia sudah menjauh lebih dari dua ratus meter. Saat itulah dia menyadari bahwa pertarungan hewan-hewan itu bukan saling kejar dan menjauh dari keberadaan dirinya, melainkan tengah mendekat. Dia pun menoleh dan berbalik ke belakang, terengah-engah, takut, dan menangis.
Percuma dia lari. Percuma juga sembunyi karena bau tubuhnya akan tercium oleh kawanan hewan-hewan buas. Yang dapat dia lakukan saat ini hanyalah berdoa. Semoga Sang Penguasa mengalihkan insting hewan buas ke lokasi lain dalam pertarungan mereka. Namun, aum para macan dan gonggongan anjing hutan semakin dekat saja.
Tiba-tiba terdengar suara tong-tong berulang kali dari arah utara. Bunyinya lemah, tetapi daun telinganya menangkap suara itu sehingga dia meyakini itu berasal dari suara kentong yang ditabuh para warga di sekitar rumahnya. Dia yakin para warga telah menyadari dirinya tidak di rumah. Barangkali penduduk tengah berkumpul dan hendak menyusul menuju lokasi dalam mimpi yang sudah diceritakan sebelumnya.
Bersamaan dengan bunyi kentong itu, suara nyalak dan aum macan menjauh darinya.
“Syukurlah.” Dia kembali melangkah cepat-cepat menuju lokasi mimpi. Dia meyakini tempat itu berada di perbatasan dataran ilalang luas yang sedang dilaluinya.
Apa pun yang terjadi, dia harus membuktikan sesuatu yang dilihatnya sungguh terjadi dan sang suami tengah menantinya untuk dilepaskan dari jeratan akar-akar yang membekap dan mengikat tubuhnya di bawah pohon besar di tengah tanah lapang itu. Bila dia berhasil, selain dapat menyelamatkan laki-laki yang telah dicintainya selama seperempat abad, pun akan menyadarkan para penduduk untuk tidak mengabaikan pesan-pesan tersemat dalam mimpinya.
Dia sudah semakin dekat di Dataran Larangan. Jempol kaki, bagian paling parah akibat terantuk, kian terasa nyeri. Sesaat dia menunduk dan memperhatikan ujung kuku jempol yang menghitam akibat memar dan darah menggumpal. Dia merintih dan berharap lekas sampai.
Hampir sampai. Dua puluh meter dan terus berkurang selagi dia terus melangkah. Pada akhirnya dia keluar dari hutan pohon karet berilalang itu. Dia terengah-engah dan menapaki dataran berumput kering kekuningan. Keringat di rahangnya mengalir melewati dua pasang pucuk kerah kebaya, ke dalam tengah dadanya yang kembang-kempis.
Kini matanya tertuju pada pohon trembesi yang berdiri kokoh di tengah lahan angker. Dia tengadah, memandang ujung pohon yang ranting-rantingnya tumbuh melebar membentuk bak payung raksasa.
Dia kecewa karena tidak melihat sang suami berada di sekitar pohon. Namun, sebagian kecil hati memercayai mimpinya merupakan petunjuk. Dia hanya perlu mencari letak persisnya. Namun, setelah tengok kanan-kiri berulang kali, tidak tampak sang suami.
Kekecewaan dan sesal yang melanda hati membuatnya membersut dengan mata berkaca-kaca. Dia mencoba mengingat-ingat gambaran dalam mimpinya lagi.
“Bukan di sini, tapi di balik pohon itu,” gumamnya dan kembali melangkah cepat-cepat.
Dia sudah di bawah naungan dahan pohon berdaun lebat, yang tampak kehitaman akibat remang dalam semburat purnama. Dia mulai menuju balik pohon, perlahan-lahan dengan rasa penasaran yang membucahkan pikiran. Pada langkah kesekian, matanya mengejang seraya membekap mulut dan geleng-geleng. Akan tetapi, sesuatu yang dilihatnya sangat nyata: Sepasang kaki tak menapak tanah.
Bukan hantu. Dia tahu persis itu sepasang kaki milik siapa. Perlahan dia tengadah hingga melihat leher sang suami terjerat dadung rotan. Pemandangan sang suami yang tergantung di dahan pohon trembesi nyaris membuatnya pingsan, tetapi dia berusaha untuk tetap sadar, kendatipun kedua lutut serasa dilucuti persendiannya. Dia berlutut dan menangis seraya memeluk kedua kaki sang suami yang sudah menghitam dan kaku.
Dunia seakan-akan menyempit di bawah pohon itu. Di antara isaknya, dia sadar, mimpi tak pernah dimaksudkan untuk menyelamatkan sang suami, melainkan agar dirinya cukup kuat menemukan kebenaran.
Aum macan kembali terdengar diiringi bunyi kentong yang terdengar kian dekat. Kesedihan yang berlipat-lipat tak membuatnya gentar dengan aum macan yang terdengar semakin jelas. Perlahan dia menoleh ke belakang dan memperhatikan sesuatu di balik ilalang. Bersamaan dengan itu, deruman yang terdengar mengintimidasi mangsa mengusik dirinya.
Kerumunan ilalang di sana tampak terbelah. Makhluk berkaki empat berbulu hitam di sekujur tubuh menampakkan diri, macan kumbang. Macan itu bertubuh besar dengan wajah tergores cakaran, bersiap menerkam mangsa.
Dia sama sekali tidak menghiraukan kehadirannya, biarpun di belakang sang macan kumbang, tujuh macan kawanan pun menampakkan diri. Dia berteriak dengan sorot mata seolah-olah menantang kawanan hewan itu. “Akan kubalas semua perbuatan kau, Haru! Demi Yang Agung di balik purnama, aku akan bangkit!”
Para macan kumbang lantas melesat dan menerkamnya.