Banyak orang masih menyimpan anggapan sederhana tentang animasi. Bahwa animasi merupakan dunia yang aman, penuh warna cerah, penuh tawa, dan jadi tempat paling pas untuk anak-anak serta keluarga. Konflik, kalaupun ada, biasanya ringan, manis, dan diselesaikan dengan pelukan hangat. Seolah-olah, animasi adalah medium yang nggak kenal luka, apalagi kegelapan.
Namun, Panji Tengkorak datang dan menolak semua itu. Sejak awal, film ini ibarat sudah mengibarkan bendera bertuliskan ‘Ini Bukan Animasi untuk Anak-anak’.
Bayangkan saja, tokoh utamanya pendekar bertopeng tengkorak. Hidupnya dipenuhi kutukan, hatinya digerogoti dendam, dan penderitaan menjadi beban yang nggak pernah pergi. Panji bukan pahlawan yang dielu-elukan. Dia manusia yang jatuh karena amarah. Kehilangan istrinya membuat dia rela menukar jiwa dengan ilmu hitam demi balas dendam (pilihan yang mengikatnya dalam keabadian pahit) bukan keabadian yang bahagia.
Topeng tengkoraknya pun bukan sebatas atribut keren. Ini semacam gambaran luka batin. Dan bahkan, ibarat wajah yang disembunyikan karena trauma, karena luka itu terlalu dalam untuk ditunjukkan. Tengkorak itu sendiri, bisa dibaca sebagai bayangan kematian, sesuatu yang Panji harus kenakan setiap hari. Nah, penonton anak-anak tentu sulit mencerna simbol-simbol semacam ini, karena yang disuguhkan bukan kelucuan, melainkan refleksi.
Dan di sinilah Panji Tengkorak terasa dewasanya. Ceritanya mengguncang lewat pertanyaan-pertanyaan yang berat: Apa arti hidup panjang kalau hati tetap kosong? Apa arti kemenangan jika harus dibayar dengan kehilangan diri sendiri? Pertanyaan-pertanyaan itu lebih pas diarahkan pada penonton dewasa, mereka yang sudah akrab dengan luka, kehilangan, dan getirnya hidup. Jadi, pikir dulu sebelum bawa bocil nonton film ini. Paham, ya? Seharusnya sih kamu paham.
Nuansa Gelap Panji Tengkorak

Kalau ditarik ke belakang, sebenarnya nuansa gelap Panji Tengkorak bukan sesuatu yang asing. Materi aslinya, komik karya Hans Jaladara (Ganes TH), memang sudah sarat dengan nuansa kelam. Panji bukan tipe pahlawan sempurna, melainkan sosok yang terus berperang dengan jiwanya sendiri. Jadi ketika ceritanya dialihwahanakan ke animasi, wajar kalau kegelapan itu tetap dipertahankan. Justru aneh kalau tiba-tiba dilembutkan hanya agar lebih ramah anak-anak.
Keputusan ini memang penuh risiko. Mayoritas orang masih menaruh animasi di rak yang sama, yakni hiburan keluarga. Namun, Daryl Wilson, sang sutradara, mendobrak pagar itu. Dia menghadirkan animasi yang getir, pahit, filosofis, dan nggak hitam-putih. Panji nggak sepenuhnya pahlawan, tapi juga bukan penjahat. Dan di situlah animasi ini bicara tentang kompleksitas jiwa manusia.
Sebagian penonton mungkin akan kaget. Ada yang kecewa karena berharap kisah sederhana, ada pula yang menolak karena menganggap animasi “
‘seharusnya’ ringan. Namun, kalau kita lihat lebih luas, Panji Tengkorak sebenarnya membuka jalan penting, bahwa animasi Indonesia bisa jadi medium yang serius, setara dengan film live-action dalam mengupas sisi terdalam manusia.
Mungkin ada yang bertanya, “Kenapa harus animasi? Kenapa nggak film biasa saja?” Jawabannya justru karena animasi punya keistimewaan. Lewat goresan, simbol, dan visual yang hiper-stilistis, penderitaan batin Panji bisa digambarkan lebih puitis. Bayangan kematian, kegelapan jiwa, hingga absurditas kutukan, semua bisa dipresentasikan dengan gambar bergerak yang nggak selalu mungkin dilakukan aktor sungguhan.
Pada akhirnya, film ini menuntut kita sebagai penonton untuk ikut dewasa. Jangan lagi berpikir animasi hanya buat anak-anak. Jangan pula memaksa anak-anak nonton sesuatu yang jelas bukan untuk mereka.
Jadi, kalau masih ada yang bertanya: “Perlukah animasi segelap ini?” Jawabannya: PERLU, karena animasi akan terasa lebih manusiawi.
Sudah siapkah Sobat Yoursay nonton Film Panji Tengkorak keluaran Falcon Pictures yang tayang serentak 28 Agustus 2025 di bioskop? Aku siap banget!