Negara Rawan Bencana, Anggaran BNPB Dipangkas: Siapkah Indonesia?

Hayuning Ratri Hapsari | Fauzah Hs
Negara Rawan Bencana, Anggaran BNPB Dipangkas: Siapkah Indonesia?
Ilustrasi banjir (Pexels/Pok Rie)

Indonesia selalu punya kisah baru setiap kali bicara soal bencana. Kadang gempa, kadang banjir, lain waktu gunung meletus, bahkan kebakaran hutan. Setiap tahun, berita tentang deretan bencana seperti tak pernah putus.

Kalau ditarik mundur, kerugian yang ditimbulkan jumlahnya nggak main-main. Tahun 2004, gempa dan tsunami Aceh menggerus Rp51,4 triliun.

Dua tahun setelahnya, gempa Yogyakarta memakan kerugian Rp29,1 triliun. Belum lagi banjir Jakarta 2007 (Rp5,1 triliun), gempa Padang 2009 (Rp28,5 triliun), hingga erupsi Merapi 2010 (Rp3,6 triliun).

Lalu tahun 2015, kebakaran hutan dan lahan merugikan Rp16,1 triliun, dan tahun 2018 guncangan di Sulawesi Tengah menghilangkan Rp23,1 triliun dalam sekejap. Deretannya panjang, dan angka-angka ini hanya sebagian kecil dari daftar panjang kerugian akibat bencana.

Dengan pola itu, wajar kalau masyarakat menganggap Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai garda terdepan. Tapi apa jadinya ketika institusi ini justru kehilangan amunisi paling penting, yaitu anggaran?

Kalau kita lihat dari tahun ke tahun, pengalokasian dana BNPB lebih sering menyusut ketimbang naik. Tahun 2015, anggaran sempat menyentuh Rp1,9 triliun. Namun beberapa tahun setelahnya, malah melorot ke angka Rp790 miliar (2018) dan Rp650 miliar (2019).

Bahkan di tahun 2025, anggaran yang semula dipatok Rp1,4 triliun akhirnya dipangkas hingga tersisa Rp956 miliar.

Dan dalam RAPBN 2026, alokasi anggaran untuk BNPB justru dipangkas drastis menjadi hanya sekitar Rp490 miliar. Angka ini bahkan lebih rendah dari tahun 2025 yang masih menyisakan Rp956 miliar setelah pemotongan.

Jika negara seluas Indonesia, dengan ratusan kabupaten rawan gempa, banjir, hingga kebakaran hutan, hanya mengandalkan setengah triliun untuk mitigasi dan penanganan darurat, wajar bila publik mempertanyakan logika kebijakan ini.

Bagaimana mungkin bicara kesiapsiagaan nasional ketika dana penanggulangan bencana bahkan lebih kecil dari proyek infrastruktur satu jalan tol?

Terdengar absurd ketika negara rela kehilangan puluhan triliun akibat bencana, tapi enggan mengeluarkan modal miliaran lebih dulu untuk pencegahan.

Yang sering terlupakan adalah fakta bahwa bencana bukan hanya menyebabkan kerugian materi, tapi ada nyawa, trauma psikologis, dan hilangnya masa depan ribuan orang. Itu semua tak bisa diukur dengan angka rupiah.

Mengurangi anggaran BNPB berarti mengurangi kemampuan negara untuk merespons dengan cepat. Padahal, kecepatan respons sangat menentukan seberapa besar dampak bencana bisa ditekan.

Keterlambatan distribusi logistik, minimnya alat evakuasi, atau terbatasnya stok obat bukan sekadar masalah teknis. Itu bisa jadi pembeda antara hidup dan mati.

Kita juga tak bisa menutup mata soal perubahan iklim. Intensitas hujan makin tak terprediksi, suhu bumi naik, dan laut kian ganas. Semua faktor ini membuat bencana hidrometeorologi semakin sering dan ekstrem.

Badan Meteorologi Dunia (WMO) pernah menyebut Asia Tenggara, termasuk Indonesia, sebagai salah satu kawasan paling rentan. Artinya, ancaman bukan semakin berkurang, melainkan justru bertambah.

Ironinya lagi, setiap kali bencana besar terjadi, pemerintah buru-buru menggelar konferensi pers dengan kalimat standar,“Kami akan memberikan bantuan maksimal.” Tapi bagaimana bisa maksimal, kalau sejak awal sumber dayanya dipangkas?

Jika negara betul-betul serius ingin melindungi warganya, anggaran BNPB seharusnya dipandang sebagai investasi, bukan beban.

Dana itu bisa dipakai memperkuat sistem peringatan dini, membangun kapasitas tim SAR, hingga memperluas pendidikan kebencanaan di sekolah-sekolah. Setiap rupiah yang ditanam di sana, bisa menyelamatkan puluhan nyawa dan mencegah kerugian yang jauh lebih besar.

Tulisan ini bukan ajakan untuk pesimis, tapi undangan untuk berhenti terbuai retorika. Kita perlu mempertanyakan prioritas negara, apakah benar gaji ratusan juta per bulan untuk DPR lebih mendesak daripada memastikan BNPB punya cukup dana untuk menyiapkan jalur evakuasi, sistem peringatan dini, atau logistik tanggap darurat?

Sebab, ketika bumi berguncang atau laut menggulung daratan, pidato politik tidak akan bisa menahan reruntuhan. Yang kita butuhkan adalah kesiapan nyata, dan itu butuh anggaran yang pantas.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak

Ingin dapat update berita terbaru langsung di browser Anda?