Ahmad Sahroni hingga Uya Kuya Tumbang: Gelombang Politik Baru dan Aspirasi Rakyat

Hayuning Ratri Hapsari | Angelia Cipta RN
Ahmad Sahroni hingga Uya Kuya Tumbang: Gelombang Politik Baru dan Aspirasi Rakyat
Kolase Ahmad Sahroni, Eko Patrio, Nafa Urbach, Uya Kuya. [Suara.com]

Dinamika politik Indonesia masih bergejolak setelah dua partai besar, NasDem dan PAN, secara resmi menonaktifkan sejumlah kader mereka dari kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI). Nama-nama populer seperti Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Patrio, hingga Uya Kuya kini resmi dinonaktifkan dari keanggotaan fraksi masing-masing.

Keputusan yang terbilang mendadak ini sontak menjadi sorotan publik, baik karena alasan penonaktifan maupun dampaknya terhadap citra partai dan representasi rakyat di parlemen. Ini juga dapat menyebabkan permasalahan baru bagi dunia partai yang membelakangi mereka.

Latar Belakang Penonaktifan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach

Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach [Instagram]
Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach [Instagram]

Keputusan pertama datang dari Partai NasDem. Ketua Umum NasDem, Surya Paloh, bersama Sekretaris Jenderal Hermawi F. Taslim, merilis siaran pers resmi yang menyatakan bahwa Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach secara resmi dinonaktifkan dari Fraksi NasDem di DPR.

Langkah ini berlaku efektif sejak Senin (1/9/2025) hari ini, dan disebut sebagai respons atas pernyataan-pernyataan mereka yang dinilai telah melukai perasaan rakyat. Di sisi lain, hal ini juga menjadi peredam bagi amarah rakyat atas sikap yang ditunjukan oleh mereka yang dinilai tak pantas menjadi wakil dari suara rakyat.

Ahmad Sahroni, yang sebelum akhirnya dinonaktifkan. Ia sempat menjadi sorotan setelah kediamannya digeruduk massa dalam sebuah aksi protes berkepanjangan.

Action Figure Iron Man milik Ahmad Sahroni dijarah (X/Instagram)
Action Figure Iron Man milik Ahmad Sahroni dijarah (X/Instagram)

Kritik pedas yang ia lontarkan terhadap demonstrasi dan suara rakyat dianggap tidak selaras dengan semangat perjuangan NasDem.

Sementara itu, Nafa Urbach, yang dikenal sebagai artis sebelum terjun ke dunia politik, juga tersandung polemik setelah komentarnya mengenai tunjangan DPR viral di publik.

Pernyataannya tentang kemacetan jalan yang ia alami dari balik kendaraan mewahnya dinilai tidak sensitif terhadap kondisi rakyat kebanyakan, terutama di tengah situasi sosial-ekonomi yang penuh tantangan.

Nafa Urbach (Instagram/@nafaurbach)
Nafa Urbach (Instagram/@nafaurbach)

Dalam siaran persnya, Surya Paloh menegaskan bahwa aspirasi masyarakat tetap menjadi fondasi utama perjuangan partai. Ia juga menyampaikan belasungkawa yang mendalam atas jatuhnya korban jiwa dalam demonstrasi, menekankan bahwa suara rakyat tidak boleh dianggap sepele oleh siapa pun, apalagi wakilnya di parlemen.

Eko Patrio dan Uya Kuya Ikut Dinonaktifkan PAN

Tak berselang lama, giliran Partai Amanat Nasional (PAN) yang mengumumkan langkah serupa. DPP PAN resmi menonaktifkan dua figur publik sekaligus politisi mereka yakni Eko Patrio dan Uya Kuya.

Kedua nama ini sebelumnya kerap mencuri perhatian publik, bukan hanya karena kiprah mereka di industri hiburan, tetapi juga karena gaya komunikasi mereka yang blak-blakan di parlemen.

Dalam siaran pers resmi yang dikeluarkan, PAN menyebut keputusan ini sebagai langkah mencermati perkembangan politik terkini.

Anggota DPR Pengganti Uya Kuya dan Eko Patrio Segera Dilantik (Instagram/ekopatriosuper/king_uyakuya)
Uya Kuya dan Eko Patrio (Instagram/ekopatriosuper/king_uyakuya)

Penonaktifan berlaku efektif sejak 1 September 2025. DPP PAN juga meminta masyarakat tetap tenang dan memberikan kepercayaan penuh kepada pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto untuk menyelesaikan persoalan nasional dengan tepat dan tetap berpihak kepada rakyat.

Pernyataan itu sekaligus menjadi bentuk permohonan maaf kepada masyarakat Indonesia. PAN menegaskan bahwa partai harus kembali menata langkah perjuangan politiknya demi masa depan bangsa.

Dampak Politik dan Persepsi Publik Terhadap Kader DPR

Ada beberapa dampak yang terjadi pasca pernyataan resmi dari partai-partai besar yang secara tiba-tiba langsung menonaktifkan kader ternamanya. Berikut ini adalah dampak yang dialami oleh politik dan respon persepsi publik terhadap mereka, yakni:

Pertama, hal ini mencerminkan adanya sensitivitas tinggi dari partai terhadap persepsi publik. Di tengah situasi sosial-politik yang penuh gejolak, suara rakyat sangat mudah menyulut gelombang protes besar. Pernyataan yang dinilai tidak berpihak pada rakyat bisa dengan cepat berbalik menjadi bumerang politik.

Kedua, keputusan ini juga menunjukkan bagaimana partai ingin menegaskan garis ideologi dan citra mereka. Dengan menonaktifkan kader yang dianggap "menyimpang", NasDem dan PAN berusaha mengirim pesan kepada masyarakat bahwa mereka tetap berpihak kepada aspirasi rakyat, meskipun harus mengorbankan tokoh-tokoh populer.

Ketiga, kasus ini memberi sinyal bagi semua politisi, terutama figur publik yang terjun ke dunia politik, bahwa popularitas semata tidak cukup untuk mempertahankan posisi di parlemen. Dibutuhkan sensitivitas sosial, empati, serta kemampuan menjaga komunikasi publik yang selaras dengan realitas rakyat.

Melihat kejadian dan dampak yang terjadi saat ini, partai politik di Indonesia harus menghadapi tantangan besar dalam membangun kepercayaan rakyat. Kasus Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Patrio, dan Uya Kuya menjadi pelajaran berharga bahwa representasi politik tidak bisa dianggap remeh. Rakyat semakin kritis, dan era digital membuat setiap pernyataan publik bisa dengan cepat viral, lalu berujung pada krisis politik.

Ke depan, partai politik harus lebih selektif lagi dalam merekrut kader, khususnya dari kalangan artis atau figur publik. Popularitas memang penting untuk mendulang suara, namun kapabilitas, kedewasaan berpolitik, serta empati sosial jauh lebih krusial untuk menjaga kepercayaan rakyat.

Karena pada akhirnya wakil rakyat harus benar-benar menjalankan fungsi dan tugas utamanya seperti memperjuangkan suara rakyat, bukan sekadar menjaga citra pribadi atau kepentingan politik sesaat. Sementara itu, bagi partai politik, kepercayaan publik adalah modal terbesar yang harus dijaga dengan segenap konsistensi.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak

Ingin dapat update berita terbaru langsung di browser Anda?