Gie, Andi Munajat, dan Relevansi Aktivisme Mahasiswa Hari Ini

Lintang Siltya Utami | Harsa Permata
Gie, Andi Munajat, dan Relevansi Aktivisme Mahasiswa Hari Ini
Ilustraksi Aktivisme Mahasiswa (Sumber: teachwire.net)

Sudah tiga semester terakhir ini saya mengajak para mahasiswa untuk menonton dan menganalisis film Gie. Film tersebut mengisahkan kehidupan Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa Universitas Indonesia (UI) yang dikenal karena pemikirannya yang tajam dan sikap kritisnya terhadap kekuasaan.

Gie adalah mahasiswa Fakultas Sastra, Jurusan Sejarah, yang masuk UI pada 1961. Selama kuliah, ia aktif di Mapala UI dan produktif menulis artikel di berbagai media. Film Gie (2005) yang disutradarai Riri Riza merupakan dramatisasi dari kisah hidupnya, yang secara umum didasarkan pada catatan hariannya yang kemudian diterbitkan sebagai Catatan Seorang Demonstran.

Dalam film, Gie (Nicholas Saputra) digambarkan sebagai sosok kritis, gemar membaca, dan cenderung menyendiri. Persahabatannya dengan Tan Tjin Han (Thomas Nawilis), Herman Lantang (Lukman Sardi), Ira (Sita Nursanti), dan Denny Mamoto (Indra Birowo) menggambarkan pergulatan intelektual dan sosial mahasiswa tahun 1960-an: diskusi, pendakian gunung, apresiasi seni, serta dilema moral yang tidak mudah.

Aktivitas Gie dan kawan-kawannya di Universitas Indonesia pada era 1960-an sebenarnya relatif mirip dengan dinamika mahasiswa Yogyakarta pada era 1980-an hingga awal 2000-an. Pada masa itu, ruang-ruang diskusi hidup, aksi demonstrasi digelar intens, dan apresiasi seni—musik, teater, hingga sastra—menjadi bagian dari gerakan intelektual mahasiswa. Banyak kampus di Yogya aktif menyelenggarakan pentas seni, diskusi publik, serta forum kajian yang mendorong lahirnya keberanian berpikir. Aktivitas kritis dan kreatif mahasiswa terasa sangat kuat di kota ini.

Sementara hari ini, mahasiswa pada umumnya—termasuk mahasiswa Yogyakarta—lebih berorientasi akademik: ingin lulus cepat, mencari pekerjaan, dan memenuhi standar kompetitif zaman. Akibatnya dinamika kritis dan ruang-ruang kultural mahasiswa terasa tidak sehidup dulu. Diskusi mendalam semakin jarang, dan kegiatan seni tidak lagi menjadi bagian dari gerakan intelektual kampus seperti sebelumnya. 

Film Gie juga menyoroti keterlibatannya dalam gerakan bawah tanah anti-Soekarno, yaitu Gerakan Pembaruan Indonesia yang diprakarsai Sumitro Djojohadikusumo dan tokoh-tokoh PSI. Ia bersedia terlibat karena menilai pemerintahan saat itu gagal mewujudkan keadilan sosial, sementara feodalisme, korupsi, dan budaya “bapakisme” masih mengakar.

Menonton kembali film ini memunculkan pertanyaan: apa yang sebenarnya berubah dari Indonesia sejak masa Gie hidup? Negara memang lebih demokratis dibandingkan era 1960-an maupun Orde Baru. Namun banyak keluhan Gie—kemunafikan, korupsi, kekuasaan yang antikritik, hingga budaya “asal bapak senang”—masih terasa relevan. Kegelisahan yang ia tulis enam puluh tahun lalu seolah belum tuntas terjawab.

Andi Munajat dan Tradisi Gerakan Yogyakarta

Di Yogyakarta, ada tokoh mahasiswa yang mencerminkan keteguhan serupa: Andi Munajat. Ia menempuh pendidikan di Filsafat UGM pada akhir 1980-an dan 1990-an, aktif di majalah mahasiswa Pijar, dan menjadi salah satu tokoh muda yang merumuskan arah gerakan kritis di kampus. Andi kemudian menjadi bagian dari Presidium SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi) dan memainkan peran organisator yang sangat sentral dalam membangun jaringan gerakan mahasiswa di berbagai kota.

Ia melakukan safari politik dari Yogyakarta ke Jakarta, Semarang, dan Surabaya untuk membangun organisasi serta memperkokoh jaringan SMID. Mobilitasnya yang sangat tinggi membuat kawan-kawannya menjulukinya “aktivis mahasiswa lima hari lima kota”. Di manapun ia ditugaskan, Andi selalu membawa gagasan yang ia yakini: bahwa persoalan mahasiswa tidak dapat dipisahkan dari persoalan rakyat—buruh, petani, dan masyarakat miskin kota.

Dalam hal ini, mungkin Andi Munajat lebih maju dibanding Soe Hok Gie, yang pada masanya lebih berfokus pada dinamika gerakan mahasiswa itu sendiri.

Andi juga dikenal sebagai salah satu pencipta lagu “Darah Juang”, bersama Johnsony Tobing—lagu yang kemudian menjadi nyanyian aksi mahasiswa di seluruh Indonesia. Ia membangun jejaring gerakan secara tenang, tekun, dan konsisten, tanpa mencari ketenaran. Setelah melalui periode tekanan dan penindasan politik, Andi berpindah ke Kalimantan Selatan—Sungai Danau, Tanah Bumbu—dan di sana ia tetap mengorganisir rakyat di akar rumput hingga akhir hayatnya.

Sayang sekali, hingga kini belum ada sineas yang berkenan memfilmkan kisah hidup Andi Munajat, padahal jejak perjuangannya tidak kalah kuat dibanding Gie.

Relevansi untuk Mahasiswa Hari Ini

Bagi mahasiswa hari ini, Gie menawarkan cermin yang jujur. Aktivisme kampus yang dulu tumbuh dari ruang diskusi dan bacaan serius kini sering terjebak dalam birokrasi kegiatan dan pencitraan di media sosial. Banyak mahasiswa lebih sibuk memenuhi administrasi organisasi atau menyesuaikan diri dengan keinginan pimpinan ketimbang membangun wacana kritis. Ancaman doxing, perundungan digital, dan UU ITE juga membuat banyak orang muda memilih diam.

Dalam situasi seperti ini, Gie mengingatkan bahwa kritik yang jujur memerlukan keberanian moral—bukan sekadar keberanian untuk tampil atau viral. Jejak hidup Andi Munajat menegaskan hal yang sama: mempertahankan idealisme hampir selalu adalah jalan yang sepi, tetapi justru di situlah nilai-nilai dijaga agar tetap hidup.

Film Gie juga memperlihatkan kesepian yang kerap ia rasakan. Bukan karena ia tak punya teman, tetapi karena ia memilih sikap yang tidak populer: setia pada idealisme dan jujur pada hati nurani. Banyak anak muda hari ini pun merasakan hal serupa ketika idealisme berbenturan dengan realitas sosial yang keras. Pergulatan moral sering kali terasa sangat pribadi.

Kecintaan Gie pada alam—terutama mendaki gunung—memberi jeda dari hiruk-pikuk politik dan tekanan sosial. Bagi generasi sekarang yang menghadapi kelelahan mental dan tekanan kompetisi, mendekat kepada alam bisa menjadi cara untuk menenangkan diri dan merenungkan kembali arah hidup.

Pada akhirnya, menonton Film Gie hari ini menyadarkan kita bahwa integritas dan konsistensi selalu relevan. Gie tidak menawarkan jawaban instan, dan ia pun tidak selalu benar. Namun melalui hidupnya yang singkat, ia menunjukkan bahwa keberanian moral mungkin tidak membuat hidup lebih nyaman, tetapi justru membuatnya lebih bermakna. Jejak Andi Munajat menguatkan pesan itu.

Karena itu, Gie, sebagai salah satu film yang memotret kehidupan aktivis mahasiswa idealis, tetap layak ditonton dan direnungkan hari ini—bukan sebagai nostalgia, tetapi sebagai pengingat bahwa menjaga nurani adalah tugas yang selalu menunggu keberanian.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak