Di ujung utara Jepara, Karimunjawa berdiri seperti sepotong surga yang jatuh pelan ke atas lautan yang biru.
Namun di balik beningnya air dan terumbu karang yang memesona, masyarakat pesisirnya menyimpan kisah yang jarang terdengar oleh manusia lainnya, tak lain adalah kisah tentang bertahan hidup di tengah ekosistem yang terus berubah.
Kisah-kisah inilah yang menjadi jembatan antara keindahan dan kenyataan bahwa pesisir bukan hanya sekadar latar wisata, tetapi rumah kita yang harus terus diperjuangkan bersama.
Pagi itu, ombak kecil memecah di pelabuhan ketika Pak Ahmad mendorong perahunya ke air. Dulu, ia hanya mengandalkan intuisi alam, seperti arah angin, pola arus, maupun gerak awan.
Namun sekarang, ia bergantung pada layar ponselnya lebih dari langit. Perubahan cuaca yang tak menentu membuat ia harus membaca prakiraan sebelum membaca laut.
“Laut ini seperti bapak yang sedang sakit,” katanya sambil menatap permukaan air yang tenang tapi menyimpan ketidakpastian.
“Kalau dulu saya tinggal menunggu musim, sekarang musim sering ingkar janji.” Kalimat yang singkat, namun maknanya dalam.
Tidak jauh dari dermaga, terlihat sekelompok perempuan “Seroja Laut” menjemur abon ikan dan kerupuk kulit tenggiri.
Dulu, sebagian dari mereka hanya menunggu suami pulang melaut. Tapi ketika hasil tangkapan menurun, mereka harus membangun ekonomi sendiri dengan mengolah ikan menjadi produk yang bernilai, memasarkan lewat wisatawan, bahkan menjual secara daring saat kapal penyeberangan berhenti beroperasi akibat cuaca buruk.
“Kami tak punya banyak, tapi kami bisa mengubah yang sedikit menjadi berarti,” tutur Bu Safitri, ketua kelompok itu. Produk-produk mereka kini menjadi salah satu penggerak ekonomi keluarga di saat laut tidak bersahabat dengan para nelayan.
Sementara itu, generasi muda Karimunjawa memilih jalannya sendiri. Komunitas “Karang Muda” berdiri atas keresahan melihat terumbu karang yang rusak oleh aktivitas wisata tak terkendali ditambah lagi dengan kenaikan suhu laut.
Setiap akhir pekan, mereka menanam karang, membersihkan pantai, dan membuat konten edukatif agar wisatawan lebih menghargai ekosistem bawah laut.
“Kami tidak ingin keindahan Karimunjawa hanya tinggal di feed Instagram,” kata Lala, salah satu relawan muda. “Kami ingin ia tetap hidup, bukan hanya dikenang.”
Di pesisir timur pulau, berdiri hutan mangrove yang menjadi benteng alami dari abrasi. Di situlah kelompok warga bersama-sama menanam mangrove baru setiap tahun.
Ada yang pernah kehilangan halaman rumah karena abrasi perlahan menggerus tanah, yang membuat mereka sadar bahwa penyelamatan pesisir bukan pilihan, melainkan kebutuhan. Mangrove-mangrove itu tumbuh seperti harapan kecil, satu per satu, dan semakin menguat seiring tahun berjalan.
Kisah ini mungkin terdengar sederhana, dimana nelayan belajar mengenai teknologi, ibu-ibu yang mengolah hasil laut, generasi muda yang menanam karang, serta warga yang bersama-sama menjaga mangrove.
Namun ketika disatukan, mereka membentuk mosaik ketangguhan yang indah, yakni sebuah perlawanan diam terhadap ancaman perubahan iklim, degradasi ekosistem, dan kesenjangan pembangunan.
Mereka bukan hanya bertahan, namun mereka bergerak, berinovasi, dan menjaga tanah serta laut yang memberi mereka hidup.
Karimunjawa mengajarkan manusia bahwa keberlanjutan bukan hanya soal kebijakan besar atau proyek megah. Namun hal itu tumbuh dari tangan-tangan kecil yang mencintai pesisirnya.
Dari orang-orang yang memilih untuk peduli ketika keadaan memaksa mereka menyerah. Dari mereka yang percaya bahwa laut bukan sekadar latar cerita, namun ia adalah kehidupan.
Seperti gelombang yang tak pernah berhenti mendatangi pantai, begitulah pula semangat masyarakat pesisir yang tak pernah padam. Selama ada yang menjaga, mendengar, dan menyuarakan kisah mereka, pesisir akan tetap bernapas. Begitu pula harapan di Karimunjawa.