Bukan Mau Kudeta, Pak! Memahami Keresahan Rakyat di Balik Stigma Makar

Sekar Anindyah Lamase | Fauzah Hs
Bukan Mau Kudeta, Pak! Memahami Keresahan Rakyat di Balik Stigma Makar
Presiden Prabowo dalam konferensi pers di Istana Negara, Jakarta, Minggu (31/8/2025). (Instagram/prabowo)

Istana Merdeka pada Minggu sore kembali jadi panggung politik. Presiden Prabowo Subianto, dengan tegas menyebut ada gejala makar dan terorisme dalam demonstrasi yang sudah berhari-hari berlangsung di berbagai daerah Indonesia. Kata “makar” keluar, mengawang-awang, bergema di kepala banyak orang yang mendengar.

Masalahnya, rakyat yang turun ke jalan tidak pernah merasa sedang melakukan kudeta. Mereka menuntut hal sederhana agar pemerintah tidak semena-mena membuat kebijakan yang menyakiti rakyat kecil. Tapi di podium kekuasaan, suara itu sering berubah wujud. Demonstrasi dipoles jadi ancaman, dikemas sebagai bahaya besar, agar mudah ditekan dengan dalih menjaga stabilitas.

Kalimat-kalimat Prabowo di konferensi pers itu terdengar paradoksal. Di satu sisi, ia bilang pemerintah menghormati kebebasan berpendapat. Bahkan menyebut pasal-pasal dari International Covenant on Civil and Political Rights dan UU No. 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Tetapi di sisi lain, ia mengaitkan demonstrasi dengan makar, terorisme, dan perintah untuk aparat agar tidak ragu bertindak tegas. Lalu apa artinya kebebasan berpendapat kalau ancaman kriminalisasi selalu menggantung di atas kepala mereka yang bersuara?

Kata “makar” sendiri punya beban psikologis yang kuat, menciptakan ketakutan kolektif,  seakan-akan ada konspirasi besar untuk menjatuhkan negara.

Padahal, seperti yang ditulis beberapa netizen dengan getir, “Siapa pak yang makar? Jauh bener menduganyaaaa..” Rakyat yang menahan panas aspal jalan, berteriak sampai suara serak, mereka bukan sedang menyusun strategi kudeta. Mereka hanya menuntut agar DPR berhenti mengkhianati mandat rakyat.

Terlebih, Prabowo menyampaikan semua itu setelah rapat tertutup dengan seluruh petinggi partai politik. Dari luar, tampak seperti pertunjukan kesepakatan elit, dimana pintu rapat tertutup, kamera wartawan hanya diizinkan menangkap momen-momen formal, lalu keluar satu suara yang seolah mewakili seluruh bangsa.

Sementara publik hanya melihat hasil dan aparat diberi lampu hijau untuk menindak. Tidak ada penjelasan konkret soal substansi tuntutan massa. Tidak ada kejelasan apakah suara rakyat di jalan benar-benar sampai ke telinga para pengambil keputusan.

Yang muncul justru kesan bahwa aspirasi rakyat diproses bukan sebagai bahan perbaikan, melainkan sebagai potensi ancaman yang harus ditangani. Kalimat “kami dengar aspirasi, tapi kalau anarkis ya dihukum” terasa lebih sebagai pagar pengaman bagi negara, bukan jembatan komunikasi dengan warga.

Padahal, yang dituntut banyak massa di jalan bukanlah hak untuk merusak, melainkan keadilan dalam proses legislasi, transparansi kebijakan, dan kepastian bahwa suara mereka bukan hanya latar belakang bising yang bisa dipadamkan dengan water cannon.

Di sini letak masalahnya ketika negara begitu cepat mengidentifikasi ancaman dari bawah, tapi begitu lambat menindak ancaman dari atas. Seorang pedagang kaki lima bisa digusur dalam semalam dengan dalih ketertiban umum. Tapi pejabat yang mengkorupsi anggaran miliaran, yang merampok fasilitas publik, bisa tetap duduk nyaman di kursi empuk.

Jadi, ketika Presiden mengeluarkan kata “makar,” rakyat justru balik bertanya, siapa sebenarnya yang makar? Apakah rakyat yang menuntut haknya di jalanan? Atau para elit yang mengkhianati amanat demokrasi di ruang-ruang ber-AC?

Demo bukanlah tanda kehancuran negara. Justru sebaliknya, ia tanda masih ada nyawa dalam tubuh demokrasi kita. Demo berarti rakyat belum menyerah, belum apatis.

Kekuasaan punya kecenderungan alami untuk alergi terhadap kritik. Tapi sejarah menunjukkan, bangsa yang sehat bukan yang bebas dari demonstrasi, melainkan yang mampu menghadapi demonstrasi dengan kepala dingin. Bukan dengan stigma makar, bukan dengan represi, tapi dengan dialog yang jujur.

Sayangnya, sekali lagi kita melihat panggung politik Indonesia menampilkan drama lama, rakyat dianggap ancaman, bukan mitra.

Dan di titik ini, wajar bila publik berteriak, “Tolonglah, pak. Yang demo bukan mau kudeta bapak. Yang demo cuma ingin DPR dibenahi, agar tak lagi semena-mena sama rakyat.”

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak

Ingin dapat update berita terbaru langsung di browser Anda?