Demo di Era Digital: Bukan Sekadar Suara, tapi Bukti Kehadiran Nyata

Sekar Anindyah Lamase | Inggrid Tiana
Demo di Era Digital: Bukan Sekadar Suara, tapi Bukti Kehadiran Nyata
Ilustrasi Demo (Alfian Winanto/Suara.com)

Di zaman sekarang, ketika setiap orang bisa menjadi jurnalis dadakan dan setiap keluhan bisa viral hanya dalam hitungan menit, pertanyaan kerap muncul, apakah demonstrasi fisik di jalanan masih relevan? Mengapa harus berpanas-panasan, terjebak macet, dan menghadapi risiko bentrok, padahal kita bisa menyuarakan aspirasi hanya dengan mengetik di layar ponsel?

Media sosial memang menyediakan ruang yang luas untuk berekspresi, tetapi aksi turun ke jalan memiliki kekuatan yang tidak tergantikan. Demo bukan hanya soal suara, tapi juga soal kehadiran. Kehadiran fisik massa di jalanan meninggalkan dampak psikologis dan politis yang jauh lebih kuat dibanding sekadar trending topik di dunia maya.

Coba bandingkan, sebuah petisi online bisa saja ditandatangani ribuan orang, tetapi tetap terasa abstrak. Sementara itu, foto ribuan orang berjejer rapi di jalan, memegang spanduk dengan pesan yang sama, memberi kesan serius dan mendesak kepada para pengambil kebijakan.

Aksi di jalanan adalah wujud nyata dari kemarahan, harapan, dan tekad yang tidak bisa diabaikan. Ini membuktikan bahwa sebuah isu bukan hanya perbincangan di ruang virtual, tetapi benar-benar diperjuangkan banyak orang di dunia nyata.

Solidaritas yang Terasa Nyata di Jalanan

Selain menjadi alat protes, demo adalah simbol solidaritas. Di balik layar ponsel, kita bisa merasa sendirian memperjuangkan sebuah isu. Namun, saat berdiri di tengah kerumunan dengan tujuan yang sama, perasaan itu sirna. Kita menyadari bahwa banyak orang lain yang peduli dan merasakan hal serupa.

Teriakan yang menggema, lagu-lagu perjuangan, dan bendera yang berkibar menciptakan rasa persatuan yang sulit digambarkan. Solidaritas semacam ini sangat penting untuk menunjukkan kepada pemerintah bahwa isu yang diangkat benar-benar mendapat dukungan luas, bukan sekadar gerakan virtual yang tak berwujud.

Ketika ribuan orang turun ke jalan, pemerintah tidak bisa lagi mengabaikan tuntutan mereka dengan alasan hanya segelintir orang yang peduli. Kehadiran massa menjadi bukti nyata bahwa ada hal serius yang perlu segera direspons.

Melawan Algoritma dan Menembus Gelembung Informasi

Satu hal yang sering dilupakan adalah bahwa demo di jalanan juga berfungsi sebagai perlawanan terhadap algoritma media sosial. Platform digital bekerja dengan algoritma yang memprioritaskan konten sesuai minat pengguna. Akibatnya, kita sering terjebak dalam gelembung filter, hanya melihat informasi yang sejalan dengan pandangan kita sendiri.

Aksi di jalanan menembus batas ini. Sebuah demo besar hampir pasti menarik perhatian media arus utama. Berita tentangnya akan tayang di televisi, mengisi halaman depan koran, hingga dibicarakan dari mulut ke mulut. Pesannya menjangkau lebih banyak orang, termasuk mereka yang mungkin tidak aktif di media sosial atau bahkan memiliki pandangan berbeda.

Dengan begitu, demonstrasi fisik memastikan bahwa isu yang diangkat benar-benar sampai ke masyarakat luas, melampaui batas-batas gelembung informasi yang diciptakan teknologi.

Pelajaran dari Masa ke Masa

Meskipun teknologi mengubah cara kita berkomunikasi, esensi demonstrasi tetap sama. Sejarah memberi kita banyak pelajaran tentang hal ini.

Di era pra-digital, seperti Demonstrasi Reformasi 1998, mobilisasi massa dilakukan dengan cara konvensional seperti, menyebarkan selebaran, pamflet, hingga informasi dari mulut ke mulut. Meski begitu, ribuan orang berhasil turun ke jalan, membawa perubahan politik besar yang tercatat dalam sejarah.

Kini, media sosial adalah game changer. Ajakan untuk berdemonstrasi bisa menyebar ke ribuan orang dalam hitungan menit. Informasi dari lapangan bisa disiarkan langsung, menciptakan tekanan publik yang masif dan membuat pihak berwenang sulit untuk menutup-nutupi peristiwa.

Namun, teknologi juga membawa tantangan baru. Jika dulu provokator mungkin hadir di lapangan, kini hoaks dan disinformasi bisa menyebar begitu cepat di dunia maya, memicu emosi dan potensi kericuhan. Pola lama, seperti masuknya penyusup atau respons aparat yang berlebihan, tetap berulang meskipun eranya sudah berubah.

Aksi Nyata dan Suara Digital Harus Saling Melengkapi

Akhirnya, demonstrasi fisik tetap penting. Bukan berarti kita harus meninggalkan teknologi, tetapi bagaimana kita menggunakannya untuk memperkuat aksi nyata di lapangan.

Suara di media sosial dan aksi di jalanan bukan dua hal yang bertentangan, melainkan saling melengkapi. Media sosial membantu mengorganisir dan menyebarkan pesan dengan cepat, sementara aksi fisik memberi bukti nyata bahwa isu yang diangkat bukan sekadar tren sesaat.

Dengan belajar dari sejarah, kita bisa memahami bahwa demonstrasi adalah cerminan dinamika bangsa dalam mencari keseimbangan antara hak untuk bersuara dan tanggung jawab sosial. Di era digital ini, turun ke jalan tetap menjadi cara paling nyata untuk berkata, "Kami ada, kami peduli, dan kami menuntut perubahan."

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak

Ingin dapat update berita terbaru langsung di browser Anda?