Gelombang protes akhir Agustus lalu menyisakan banyak luka, bukan hanya bagi massa tetapi juga bagi ruang demokrasi Indonesia.
Di tengah tekanan publik dan dinamika demonstrasi, penangkapan Direktur Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen, menjadi sorotan.
Ia disangkakan dengan pasal penghasutan (Pasal 160 KUHP) berdasarkan peran yang dianggap menyebarkan ajakan melalui media sosial, dan segera ditetapkan sebagai tersangka.
Rangkuman Proses Hukum: Apa yang Terjadi?
Misalnya, penggeledahan di apartemen Delpedro yang berlangsung malam hari selama sekitar dua jam, dari pukul 18.30 hingga 20.30 WIB, berujung pada penyitaan sejumlah buku.
Tindakan ini memicu dugaan pelanggaran prosedur hukum. Ini memperkuat kekhawatiran bahwa penegakan hukum belum sepenuhnya menghormati due process.
Polisi mendeskripsikan peran Delpedro sebagai kolaborator melalui akun media sosial Lokataru dalam menyebarkan ajakan aksi kepada pelajar agar tidak takut turun ke jalan, bahkan terkait jaringan yang disebut terhubung dengan akun yang memberi tutorial pembuatan bom molotov.
Di satu sisi, pemerintah menekankan kewajiban menjaga ketertiban. Di sisi lain, publik mempertanyakan proporsionalitas bukti dan prosedur yang berjalan.
Potensi Pelanggaran Prosedur dan Keadilan Formal
Menurut hukum acara pidana, penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan harus dilaksanakan dengan hati-hati, dengan bukti permulaan yang cukup melalui gelar perkara dan minimal dua alat bukti sebagaimana diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU XII/2014.
Penggeledahan dan penyitaan sebelum penetapan tersangka hanya sah bila prosedur KUHAP (Pasal 32 sampai 46) terpenuhi.
Dalam kasus Delpedro, proses penggeledahan dan penyitaan terjadi sangat cepat. Patut dipertanyakan apakah prosedur praperadilan, termasuk hak mengajukan keberatan atas tindakan penyidik, telah dijamin.
Polda Metro Jaya menegaskan bahwa penetapan Delpedro sebagai tersangka adalah bagian upaya profesional dan sesuai SOP, menegakkan hukum terhadap ajakan aksi yang bisa mengarah pada kekerasan.
Namun, kritik muncul dari masyarakat sipil, termasuk Lokataru, yang menyebut Delpedro dijemput paksa tanpa dasar hukum jelas. Tindakan itu dianggap sebagai ancaman terhadap kebebasan sipil.
Komnas HAM merespons penangkapan ini dengan mendorong pendekatan keadilan restoratif sebagai cara untuk meredam eskalasi konflik dan menjaga kebebasan berpendapat. Pendekatan ini dipandang lebih manusiawi dibanding pola yang cenderung represif.
Menilai Keseimbangan Antara Ketertiban dan Kebebasan
Negara memang berkewajiban menjamin ketertiban dan melindungi warganya dari kekerasan. Namun, kritik sipil dalam bentuk opini, demonstrasi, atau advokasi juga mendasar dalam demokrasi sehat. Aktivis seperti Delpedro adalah bagian dari mekanisme pengawasan yang menyokong akuntabilitas negara.
Jika ketika kritik disampaikan melalui media sosial langsung disambut dengan jerat hukum, maka ruang demokrasi menjadi sempit. Publik dapat menilai, apakah negara lebih memilih ketertiban jangka pendek daripada mendengarkan aspirasi kritis yang muncul dari akar rumput?
Kesehatan demokrasi perlu ditunjang oleh penerapan hukum yang transparan dan tidak diskriminatif. Beberapa langkah perlu dipertimbangkan:
- Polri harus memastikan bahwa setiap tindakan penyidikan, mulai dari penggeledahan hingga penetapan tersangka, dilakukan dengan dasar hukum kuat, bukti lengkap, dan melalui mekanisme praperadilan.
- Pemerintah dan aparat hukum perlu membuka dialog dengan masyarakat sipil, bukan hanya dalam konteks hukum tetapi juga kebijakan publik.
- Dalam kasus yang sensitif seperti ini, restorative justice dapat menjadi jalan tengah, meredam konfrontasi dan membuka ruang rekonsiliasi sebagaimana diusulkan oleh Komnas HAM.
Penangkapan Delpedro Marhaen adalah cermin dari dinamika persimpangan antara keamanan negara dan kebebasan sipil. Bila prosedur hukum dijalankan secara terburu-buru, kebebasan berpendapat akan terluka. Namun bila negara abai terhadap keamanan publik, ketertiban akan tercipta dengan harga demokrasi.
Demokrasi sejati bukan saat demonstrasi berhasil dibungkam, melainkan ketika negara mampu mendengar dan merespons suara kritisnya secara adil dan manusiawi dengan prosedur hukum yang menjunjung tinggi hak asasi setiap warga.