Fenomena "Salam Interaksi": Mengapa Facebook Pro Diminati Banyak Emak-Emak?

Sekar Anindyah Lamase | Yayang Nanda Budiman
Fenomena "Salam Interaksi": Mengapa Facebook Pro Diminati Banyak Emak-Emak?
Ilustrasi wanita bermain ponsel (Pexels/Ron Lach)

Salam interaksi, Bun. Jangan lupa like, komen, dan share ya.” Kalimat semacam ini kini sering berseliweran di beranda Facebook. Bagi sebagian orang, ini mungkin terdengar remeh, bahkan sedikit mengganggu.

Namun, di balik salam interaksi, tersimpan fenomena sosial yang lebih dalam: munculnya gelombang emak-emak kreator konten yang mencoba peruntungan di Facebook Pro, platform yang kini membuka ruang monetisasi layaknya YouTube atau TikTok.

Dari Konsumen Jadi Kreator

Emak-emak yang dulunya hanya menggunakan Facebook untuk berbagi foto keluarga, update status sederhana, atau belanja online di marketplace, kini bertransformasi menjadi kreator konten. Alasannya sederhana: Facebook Pro menjanjikan peluang uang. Setiap konten yang dilihat banyak orang berpotensi menghasilkan cuan, baik dari iklan maupun fitur monetisasi lain.

Dengan hadirnya monetisasi, emak-emak yang biasanya hanya konsumen pasif media sosial tiba-tiba mendapat dorongan untuk jadi kreator aktif. Mereka tidak lagi sekadar menonton video lucu atau membaca status tetangga, tetapi juga memproduksi konten sendiri: mulai dari resep masakan, tips rumah tangga, curhatan sehari-hari, hingga video pendek berisi hiburan ringan.

Salam Interaksi Sebagai Strategi

“Salam interaksi” bukan hanya basa-basi. Ia adalah strategi. Algoritma media sosial bekerja berdasarkan keterlibatan (engagement): semakin banyak like, komentar, dan share, semakin tinggi pula peluang konten naik ke permukaan dan menjangkau audiens lebih luas.

Bagi emak-emak kreator baru, “salam interaksi” adalah cara sederhana untuk mengakali algoritma. Mereka saling berbalas komentar, saling like, dan saling share antar-sesama komunitas agar video atau postingan mereka terlihat ramai. Praktik ini sebenarnya mirip dengan “gotong royong digital” yang lahir karena kebutuhan: tanpa interaksi, konten mereka tenggelam di lautan postingan.

Daya Tarik Uang Digital

Tidak bisa dipungkiri, faktor ekonomi adalah alasan utama mengapa fenomena ini booming. Banyak emak-emak yang sebelumnya hanya mengandalkan penghasilan suami atau pekerjaan informal, kini melihat Facebook Pro sebagai peluang menambah pemasukan.

Mereka tidak harus keluar rumah, tidak butuh modal besar, cukup bermodal HP, kuota internet, dan sedikit kreativitas. Bahkan konten sederhana seperti “nge-live sambil masak sayur” bisa mendatangkan ratusan penonton, yang berarti ada peluang penghasilan. Bagi emak-emak, ini menjadi kesempatan emas: aktivitas domestik bisa dikapitalisasi menjadi konten bernilai.

Antara Kreativitas dan Repetisi

Namun, fenomena salam interaksi juga punya sisi lain. Banyak konten yang sifatnya repetitif dan sekadar mengejar engagement. Video dengan isi sama, sapaan yang sama, bahkan terkadang minim nilai informatif, membanjiri timeline.

Meski begitu, kita tidak bisa menutup mata bahwa fenomena ini membuktikan satu hal penting: media sosial tidak lagi didominasi generasi muda. Emak-emak kini punya peran signifikan dalam ekosistem digital, dengan gaya, bahasa, dan strategi mereka sendiri.

Ruang Baru untuk Emak-Emak Digital

Salam interaksi sejatinya mencerminkan semangat baru emak-emak di dunia digital. Dari dapur hingga ruang tamu, mereka menjelma jadi pekerja konten. Facebook Pro memberi ruang inklusif, meskipun tak semua akan benar-benar sukses besar, tapi bagi sebagian emak-emak, bisa menghasilkan uang dari aktivitas yang mereka nikmati adalah capaian yang membanggakan.

Fenomena ini juga menantang stereotip lama: bahwa emak-emak hanya sebatas pengguna pasif atau sekadar “penonton gosip” di media sosial. Kini, mereka adalah produsen wacana, kreator konten, dan bahkan penggerak algoritma.

Penutup

Salam interaksi mungkin terdengar sederhana, bahkan klise. Tetapi ia adalah simbol perubahan: pergeseran dari sekadar eksistensi digital menjadi ekonomi digital. Emak-emak di Facebook Pro tidak hanya mencari pertemanan, tetapi juga penghasilan. Dari sinilah, kita bisa memahami bahwa fenomena ini bukan sekadar tren, melainkan bagian dari transformasi sosial di era media digital yang makin cair: ketika ruang domestik, ruang publik, dan ruang digital melebur menjadi satu.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak