Di atas kertas, Program Makan Bergizi Gratis (MBG) tampak seperti mimpi yang jadi kenyataan. Siapa yang bisa menolak gagasan memberi makanan sehat bagi jutaan anak Indonesia?
Sebagai program andalan pemerintahan Prabowo-Gibran, MBG dipromosikan sebagai investasi masa depan anak bangsa dengan gizi baik dan generasi kuat. Namun, ribuan kasus keracunan yang terus bermunculan membuat publik bertanya-tanya, apakah ini murni soal gizi, atau ada kepentingan politik yang lebih besar?
Sejak diluncurkan awal 2025, MBG langsung menjadi program bintang kabinet. Setiap pidato Presiden Prabowo hampir selalu menyebut jumlah penerima yang kini mencapai 21 juta anak. Angka besar itu dikutip berkali-kali, seolah menjadi bukti keberhasilan.
Tetapi di saat yang sama, laporan keracunan terus bertambah. Badan Gizi Nasional (BGN) mencatat lebih dari 4.600 kasus, sementara Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyebut sudah lebih dari 6.400 kasus. Perbedaan angka ini saja sudah cukup dikatakan darurat, apalagi jika dihubungkan dengan fakta bahwa sebagian besar dapur penyedia MBG tidak memiliki sertifikat higiene dan sanitasi yang memadai.
Ironisnya, di tengah maraknya korban, para pejabat pemerintah tetap menegaskan bahwa program tidak akan dihentikan. Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar, misalnya, secara terbuka menyatakan tidak ada rencana penyetopan. “Evaluasi iya, tapi program jalan terus,” ujarnya.
Sikap ini menunjukkan keberanian, atau mungkin kekerasan kepala yang mencengangkan. Bagaimana mungkin sebuah program yang menelan korban ribuan anak hanya diberi evaluasi tanpa jeda?
Jawabannya mungkin terletak pada politik anggaran. APBN 2026 telah mengunci dana MBG sebesar Rp355 triliun. Anggaran sebesar ini sudah disahkan bersama DPR, membuat penghentian program menjadi nyaris mustahil tanpa gejolak politik. Terlebih, mengakui kegagalan atau menunda distribusi berarti membuka peluang bagi oposisi untuk menyerang.
Pemerintah tampaknya memilih strategi mempertahankan citra positif ketimbang menghadapi kenyataan pahit. Laporan resmi lebih sering menonjolkan jumlah penerima manfaat “21 juta anak sudah terbantu” ketimbang kualitas dan keamanan makanan yang disajikan.
Wajar saja, sejak dulu, program populis seperti beras untuk rakyat miskin (raskin) atau bantuan langsung tunai selalu dijaga mati-matian karena berfungsi sebagai simbol keberpihakan pemerintah pada rakyat kecil.
MBG pun sama, program masif, anggaran besar, dan daya tarik elektoral yang kuat. Tidak heran jika pejabat terlihat lebih takut kehilangan momentum politik ketimbang menghadapi risiko kesehatan anak.
Padahal, program gizi tidak bisa diperlakukan seperti proyek pencitraan. Memberi makan jutaan anak bukan hanya soal mengisi perut, tetapi juga memastikan setiap rantai produksi memenuhi standar keamanan pangan.
Fakta bahwa hanya 34 dari 8.583 dapur MBG yang memiliki sertifikat laik higiene menunjukkan betapa longgarnya pengawasan program ini. Sebuah laporan bahkan mengungkap banyak dapur tidak memiliki SOP yang jelas, sementara koki tidak dilatih standar keamanan pangan.
Jika keselamatan anak adalah prioritas, penghentian sementara untuk evaluasi menyeluruh seharusnya menjadi langkah logis. Tetapi logika kesehatan publik kerap kalah oleh kalkulasi politik.
Menghentikan program berarti mengakui bahwa perencanaan pemerintah cacat sejak awal, sesuatu yang sulit diterima menjelang tahun anggaran baru. Karena itu, yang kita lihat adalah kebijakan jalan terus meski korban bertambah, dengan janji evaluasi yang terdengar lebih seperti perbaikan citra ketimbang perbaikan sistem.
Di sisi lain, publik mulai merasakan konsekuensi dari pendekatan ini. Orang tua kini was-was setiap kali anaknya membawa pulang makanan dari sekolah. Beberapa sekolah bahkan dilaporkan menyebarkan surat persetujuan yang menuntut orang tua menanggung risiko keracunan dan melarang penyebaran informasi ke luar.
Praktik seperti ini tidak hanya merusak kepercayaan, tetapi juga menunjukkan bahwa program yang digadang-gadang sebagai bukti kepedulian pemerintah malah menempatkan beban risiko pada masyarakat.
Kita tentu tidak bisa menutup mata terhadap manfaat MBG. Di banyak daerah, terutama kawasan miskin, program ini memberikan akses gizi yang sebelumnya sulit dijangkau. Namun manfaat itu menjadi tidak berarti jika keselamatan anak terabaikan.
Pada akhirnya, MBG mengajarkan kita bahwa politik dan gizi adalah dua dunia yang sulit dipisahkan. Di satu sisi, program populis memang diperlukan untuk menarik perhatian pada isu penting seperti malnutrisi.
Di sisi lain, ketika politik mengalahkan prinsip keamanan, program yang seharusnya menjadi solusi bisa berubah menjadi bumerang.
Pemerintah masih punya pilihan untuk mengubah arah. Transparansi data, audit independen, dan jeda distribusi untuk evaluasi menyeluruh adalah langkah yang bisa memulihkan kepercayaan publik.
Tetapi selama keberhasilan diukur hanya dari seberapa banyak piring yang dibagikan, bukan seberapa aman makanan di atasnya, MBG akan tetap menjadi contoh klasik bagaimana populisme sering mengorbankan esensi demi citra.