Drama Anggaran MBG: Tarik Ulur Purbaya dan Luhut

Hayuning Ratri Hapsari | Fauzah Hs
Drama Anggaran MBG: Tarik Ulur Purbaya dan Luhut
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dan Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan (Instagram/kemensetneg.ri/luhut.pandjaitan)

Ada satu hal menarik dari perdebatan seputar program Makan Bergizi Gratis (MBG). Bukan lagi soal visi mulianya, tapi soal tarik-menarik anggaran di belakang layar.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dengan tegas mengatakan akan menarik anggaran MBG yang tidak terserap maksimal hingga akhir bulan ini.

“Kan kita melihat sampai akhir Oktober, kalau tidak menyerap ya kita akan potong juga,” begitu katanya. Singkat, lugas, seakan menegaskan prinsip uang negara tidak boleh dibiarkan mengendap.

Di sisi lain, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan punya pandangan berbeda. Ia meminta agar anggaran MBG jangan buru-buru ditarik. Alasannya, penyerapannya masih sesuai rencana.

Kedua tokoh ini tentu punya logikanya masing-masing. Tapi bagi masyarakat yang menonton dari jauh, drama tarik-ulur anggaran ini rasanya seperti menonton dua orang pejabat yang sedang berebut remote TV, satu bilang ganti channel, satu lagi bilang tunggu sebentar.

Yang jadi pertanyaan, siapa yang benar-benar peduli dengan penonton—alias rakyat kecil—yang nasibnya sedang dipertaruhkan?

Di media sosial, banyak warganet yang membela dan menyetujui langkah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Ada yang menyebut kalau anggaran MBG yang mengendap hanya akan berakhir dikorupsi jika tidak segera dipotong.

Ada pula yang menilai lebih baik dana MBG dialihkan untuk hal-hal yang lebih nyata manfaatnya, seperti tambahan tunjangan bagi pegawai kecil yang ujungnya bisa menggerakkan daya beli UMKM dari bawah.

Tak heran, respons semacam ini tumbuh dari pengalaman panjang masyarakat melihat uang negara menguap entah ke mana.

Tapi mari kita balik sebentar ke substansi, kenapa anggaran MBG bisa tidak terserap? Bukankah program ini digadang-gadang sebagai prioritas nasional, dengan janji besar menyehatkan generasi masa depan?

Kalau benar anggaran mengendap, itu bisa berarti beberapa hal, entah perencanaan teknisnya berantakan, distribusinya tidak siap, atau eksekutornya ragu-ragu karena takut tersandung kasus hukum.

Jangan lupakan pula masalah kualitas. Dalam beberapa bulan terakhir, publik sudah dikejutkan oleh berita keracunan makanan dalam pelaksanaan program MBG di sejumlah daerah. Alih-alih menyehatkan, justru ada siswa yang masuk rumah sakit.

Purbaya mungkin benar ketika bicara soal disiplin anggaran. Tak ada gunanya uang rakyat diam di kas daerah tanpa manfaat. Tapi Luhut juga tidak sepenuhnya salah kalau khawatir pemotongan terlalu dini justru akan mematikan program yang seharusnya jadi investasi jangka panjang.

Persoalannya bukan sekadar dipotong atau tidak. Tapi apakah pemerintah benar-benar punya mekanisme yang memastikan uang yang terserap itu sampai ke perut anak-anak, bukan ke kantong pejabat atau vendor nakal?

Sobat Yoursay, coba bayangkan seorang anak SD di desa pelosok. Ia mungkin berangkat sekolah dengan perut kosong karena orang tuanya buruh tani yang penghasilannya tidak menentu. Program MBG, jika berjalan mulus, bisa jadi penyelamat, satu kotak nasi dengan lauk bergizi, segelas susu, atau buah. Kedengarannya remeh bagi orang kota, tapi itu bisa menentukan konsentrasi si anak sepanjang hari.

Sekarang bayangkan kalau program itu gagal jalan karena anggaran ditarik. Anak itu tetap datang ke sekolah dengan perut kosong.

Di sisi lain, coba bayangkan pula kalau programnya tetap jalan, tapi makanannya asal-asalan, bahkan membuat anak keracunan. Bukankah sama saja mengkhianati cita-cita mulia program ini?

Diskusi soal MBG tidak bisa berhenti di angka serapan atau perdebatan dua pejabat tinggi. Ini soal prioritas negara, apakah kesehatan generasi muda benar-benar dianggap urusan serius, atau hanya proyek besar yang nasibnya ditentukan lewat rapat anggaran?

Kalau mau realistis, publik lebih butuh jawaban jujur ketimbang janji manis. Apakah sistem pengawasan distribusi makanan sudah siap? Apakah vendor yang dipilih benar-benar kompeten, atau sekadar pemenang tender karena kedekatan politik? Apakah ada evaluasi dari kasus-kasus keracunan sebelumnya, atau semuanya dilupakan demi pencitraan keberhasilan?

Karena kalau tidak, polemik seperti ini hanya akan menambah daftar panjang drama politik anggaran. Di satu sisi ada Menkeu yang tegas bicara soal efisiensi. Di sisi lain ada tokoh senior yang meminta “jangan dulu.” Dan di tengah-tengahnya, ada rakyat yang bertanya-tanya, uangnya sebenarnya dipakai untuk siapa?

Program MBG bisa jadi warisan penting bagi masa depan bangsa, bisa juga jadi catatan hitam tentang bagaimana proyek besar sering kali berakhir sebagai ajang bagi-bagi anggaran.

Jalan mana yang ditempuh, itu tergantung pada seberapa banyak uang yang terserap, dan pada seberapa jujur dan serius pemerintah dalam menjalankannya.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak