Negara menjamin cuti haid sebagai hak, tapi di beberapa lapangan hak itu sering berubah jadi ujian kepercayaan. Perempuan sering kali diminta menunjukkan surat dokter hanya untuk meyakinkan bahwa nyeri mereka nyata.
Mengutip dari Suara.com, Komnas Perempuan menemukan banyak pekerja perempuan yang masih kesulitan mengakses hak cuti haid karena munculnya berbagai prasyarat administratif yang tidak sesuai.
Komisioner Komnas Perempuan, Devi Rahayu, menjelaskan bahwa praktik-praktik tersebut justru bertentangan dengan semangat perlindungan hak pekerja perempuan sebagaimana dijamin oleh undang-undang.
“Secara implementasi, kita dapatkan fakta yang sangat beragam antara perusahaan dan instansi pemerintah. Di mana banyak yang masih mensyaratkan surat dokter bahkan pemeriksaan invasif jika kemudian akan menggunakan hak cuti haid,” ujar Devi Rahayu dalam webinar Konsultasi Publik Komnas Perempuan, Jumat (17/10/2025), dikutip dari Suara.com.
Persyaratan semacam itu bukan hanya menambah beban administratif, tapi juga menyingkap persoalan yang lebih mendasar: ketidakpercayaan terhadap pengalaman dan tubuh perempuan itu sendiri.
Devi menilai, kebijakan yang mewajibkan pekerja perempuan melampirkan surat dokter atau menjalani pemeriksaan medis justru bertentangan dengan semangat perlindungan hak yang telah diatur dalam undang-undang.
Persyaratan semacam itu menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap pengalaman tubuh perempuan masih rendah, seolah nyeri harus divalidasi oleh otoritas medis untuk dianggap nyata.
Menurut Devi, cuti haid seharusnya bisa diakses tanpa hambatan administratif apa pun, karena kondisi biologis saat menstruasi adalah hal yang alamiah dan berpengaruh langsung pada kenyamanan serta kesehatan perempuan di tempat kerja.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa persoalan cuti haid bukan sekadar soal administrasi, melainkan soal cara pandang terhadap tubuh dan pengalaman perempuan di dunia kerja.
Alih-alih dipercaya memahami tubuhnya sendiri, perempuan justru harus membuktikan rasa sakitnya di hadapan sistem yang masih bias dan kaku.
Padahal, esensi dari kebijakan cuti haid adalah memberi ruang bagi perempuan untuk memulihkan diri tanpa dihantui rasa bersalah atau curiga, bukan menjadikannya subjek yang perlu diverifikasi.
Ketika hak ini dibebani oleh syarat tambahan, tentu nilai kemanusiaannya hilang. Yang tersisa hanyalah birokrasi yang dingin dan pesan tersirat bahwa tubuh perempuan masih belum sepenuhnya dipercaya.
Lebih jauh lagi, nyeri haid adalah suatu hal alamiah, bukan sesuatu yang perlu diverifikasi. Hak perempuan seharusnya dihormati, bukan dipertanyakan.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS