Ketika Penghargaan Jadi Alat Propaganda: Negara Harus Tahu Batasnya

Hayuning Ratri Hapsari | Fauzah Hs
Ketika Penghargaan Jadi Alat Propaganda: Negara Harus Tahu Batasnya
Presiden Prabowo menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto yang digelar di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025). (Instagram/kemensetneg.ri)

Sobat Yoursay, tidak semua penghargaan itu murni soal jasa. Ada penghargaan yang lahir dari pengorbanan, ada yang lahir dari keberanian dan ada juga yang lahir dari… kepentingan politik.

Yang terakhir ini mungkin tidak diucapkan secara terang-terangan, tapi aromanya sangat mudah tercium ketika negara tiba-tiba mengangkat tokoh kontroversial menjadi pahlawan nasional.

Kasus pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto adalah salah satu contoh paling gamblang bagaimana simbol kehormatan bisa berubah menjadi alat propaganda.

Seolah negara ingin berkata, “Lupakan masa lalunya, lihat saja narasi yang kami pilih hari ini.” Masalahnya, sejarah bukan catatan Instagram yang bisa diedit kapan saja tanpa jejak.

Gelar pahlawan memang selalu politis. Tidak ada negara di dunia ini yang benar-benar steril dari bias ketika menetapkan siapa yang layak dihormati.

Tapi ketika penghargaan digunakan untuk menciptakan legitimasi baru atas figur yang punya jejak panjang pelanggaran HAM, korupsi, dan otoritarianisme, itu bukan saja politis, tapi juga manipulatif.

Dalam pemerintahan demokratis, simbol politik biasanya dipakai untuk memperkuat nilai-nilai bersama, seperti keterbukaan, kesetaraan, dan penghormatan pada hak rakyat.

Namun di pemerintahan otoriter, simbol itu justru dipakai untuk memperindah kekuasaan, memuji pemimpin, membungkam kritik, dan membentuk ingatan publik sesuai keinginan rezim.

Ketika Soeharto diberi gelar pahlawan, publik pun mempertanyakan, ini simbol yang bekerja dengan logika demokrasi atau logika otoritarian?

Karena kalau negara mulai memilih pahlawan berdasarkan kepentingan politik, bukan integritas sejarah, maka kita sedang menapaki jalan mundur.

Ketika pemerintah menetapkan Soeharto sebagai pahlawan, negara secara tidak langsung sedang menciptakan pahlawan versi pemerintah, bukan versi korban, bukan versi sejarah lengkap, tapi versi narasi yang ingin mereka bangun hari ini.

Ini bukan penghargaan namanya, tapi propaganda yang dibungkus formalitas.

Masalahnya, propaganda paling efektif adalah yang dibalut kesantunan, yang tidak datang dengan teriakan, tapi dengan seremoni resmi, tanda kehormatan, keputusan presiden, sambutan penuh pujian, dan senyum kamera.

Sama sekali tidak terlihat seperti manipulasi. Justru terlihat seperti penghormatan layak.

Inilah mengapa negara harus tahu batasnya. Menggunakan penghargaan untuk merawat ingatan kolektif adalah hal biasa. Tapi menggunakannya untuk menutupi luka sejarah adalah permainan berbahaya.

Lalu, ketika negara memutihkan figur dengan rekam jejak pelanggaran HAM berat melalui gelar kehormatan, apa konsekuensi jangka panjangnya bagi identitas bangsa?

Jawabannya tidak sederhana. Tapi beberapa hal sudah tampak di depan mata.

Pertama, identitas moral bangsa menjadi kabur.

Jika pelanggaran HAM bisa diimbangi dengan jasa lain, maka prinsip keadilan berubah menjadi matematika politik, minus dihapus dengan plus. Padahal dalam isu kemanusiaan, satu pelanggaran hak hidup manusia tidak bisa ditebus dengan seribu pembangunan jalan.

Kedua, generasi baru kehilangan kemampuan membedakan antara kehormatan dan kekuasaan.

Jika pahlawan adalah orang yang paling dekat dengan pusat kekuasaan, bukan orang yang memperjuangkan keadilan, maka konsep kepahlawanan menjadi rusak.

Ketiga, korban menjadi dua kali dikorbankan. Ketika hak mereka dirampas, dan ketika negara mengangkat pelaku pelanggaran sebagai pahlawan.

Apa ini identitas bangsa yang ingin kita wariskan?

Sobat yoursay, penghargaan negara seharusnya menjadi pengingat nilai. Tapi ketika penghargaan berubah menjadi alat propaganda, kita harus waspada. Tidak ada bangsa yang bisa berdiri tegak jika sejarahnya terus dicat ulang sesuai selera penguasa.

Kita tidak bisa membiarkan negara melampaui batas, seolah simbol kehormatan adalah stempel yang bisa menutup buku dosa masa lalu.

Karena jika kita membiarkan ini terus terjadi, suatu hari kita akan bangun dan mendapati bahwa identitas bangsa telah diganti diam-diam oleh negara yang seharusnya melindungi ingatannya sendiri.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak