Arogansi Politik vs Sains: Ahli Gizi Dibungkam di Forum MBG

Hayuning Ratri Hapsari | Fauzah Hs
Arogansi Politik vs Sains: Ahli Gizi Dibungkam di Forum MBG
Wakil Ketua DPR Cucun Ahmad Syamsurijal (Instagram/cucunsyamsurijal)

Seorang pejabat negara berdiri di podium, menunjuk-nunjuk seorang ahli, lalu berkata bahwa profesi itu… tidak terlalu penting, bahkan bisa digantikan oleh anak SMA yang dilatih tiga bulan. Bagaimana menurutmu, sobat yoursay?

Janggal? Tentu saja. Tetapi di Indonesia yang kita cintai ini, kejadian seperti itu tidak pernah benar-benar mengejutkan. Yang mengejutkan justru ketika para ahli masih cukup sabar menjelaskan, meski suara mereka sering dipotong oleh kekuasaan.

Kasus Wakil Ketua DPR Cucun Ahmad Syamsurijal menjadi viral karena potongan videonya memperlihatkan dinamika yang selama ini hanya dibicarakan setengah berbisik, bahwa kekuasaan kita punya kebiasaan meremehkan keahlian.

Dalam forum resmi SPPG MBG di Bandung, seorang ahli gizi mencoba menyampaikan persoalan teknis tentang kurangnya tenaga ahli, perlunya kerja sama dengan Persagi, hingga pentingnya ahli sanitasi. Tapi belum setengah jalan, ia disetop. Bahkan disemprot.

“Mentang-mentang kalian dibutuhkan negara, kalian bicara undang-undang. Pembuat kebijakan itu saya.”

Kalimat yang mungkin pantas disimpan di museum politik arogan.

Sobat Yoursay, mungkin kamu punya pertanyaan yang sama dengan saya, kenapa seorang pejabat yang tidak punya latar belakang gizi merasa paling tahu soal gizi? Mengapa profesi yang mengurus kesehatan anak-anak Indonesia dianggap bisa digantikan oleh siapa saja yang mengikuti pelatihan 3 bulan?

Program MBG sendiri merupakan salah satu program unggulan Presiden Prabowo. Secara konsep, memberikan makanan bergizi kepada anak-anak yang membutuhkan adalah kebijakan yang secara moral dan logis benar. Itu artinya, masalah ini menyangkut nyawa, kesehatan, kualitas nutrisi, dan masa depan generasi.

Dalam konteks MBG, perekrutan non-ahli gizi sudah menjadi polemik sejak awal. Banyak pos ahli gizi diisi oleh tenaga non-profesional. Lalu ketika para ahli menyuarakan kekhawatiran, mereka justru dibungkam dengan narasi arogan.

Pernahkah sobat yoursay melihat maling teriak maling? Nah, ini kebalikannya, yang berteriak arogan justru adalah orang yang menghentikan perempuan yang sedang menjelaskan fakta.

Yang lebih menyedihkan, insiden ini memperlihatkan bagaimana kekuasaan sering kali alergi terhadap kritik teknokratis. Kita tidak sedang berbicara soal aktivis atau oposisi, tetapi ahli yang bertugas memastikan makanan anak-anak tidak menyebabkan stunting, keracunan, atau malnutrisi.

Namun respons yang muncul adalah upaya mengganti istilah ahli gizi menjadi pengawas gizi, demi menghindari persyaratan kompetensi formal.

Sobat yoursay, bayangkan kalau kamu datang ke rumah sakit untuk operasi, lalu mendengar dokter bedahnya sebenarnya hanya ikut pelatihan 3 bulan. Masih berani naik meja operasi?

Tentu saja, setelah videonya viral, Cucun mengunggah permintaan maaf. Seperti banyak permintaan maaf politisi lainnya, ia mengaku tidak bermaksud kau ahli gizi itu penting. Tetapi apakah publik masih percaya? Apalagi setelah ia berbicara panjang tentang sertifikasi BNSP, anak SMA yang cerdas, dan pelatihan cepat untuk menggantikan pekerja profesional.

Program MBG menargetkan puluhan juta anak. Dengan skala sebesar itu, kualitas perencanaan harus didukung oleh keahlian multidisiplin, mulai dari gizi, sanitasi, logistik, pengawasan pangan, hingga kesehatan masyarakat. Salah perhitungan sedikit saja, dampaknya bisa berantai.

Kita bicara soal risiko keracunan massal, kontaminasi air minum, penyajian yang tidak higienis, hingga komposisi makanan yang salah. Bahkan ahli gizi butuh bertahun-tahun pendidikan dan pengalaman lapangan untuk memahami detail yang tidak terlihat di permukaan.

Bila negara menganggap keahlian bisa dipercepat, ditambal, diganti istilah, atau diserahkan pada tenaga tanpa kompetensi, maka program itu berubah dari upaya memerangi malnutrisi menjadi sekadar proyek administratif.

Lalu, apakah negara benar-benar ingin memperbaiki gizi anak-anak, atau sekadar ingin menunjukkan bahwa program ini berjalan meski nyatanya berantakan?

Sobat yoursay, kita sering melihat fenomena ini dalam program bantuan sosial, proyek infrastruktur, bahkan penanganan pandemi. Ketika sains berbicara, politik menutup telinga. Ketika ahli mengingatkan risiko, pejabat menganggapnya ancaman.

Jika mental seperti ini dibiarkan, maka bukan hanya ahli gizi yang akan tersingkir, tetapi standar profesionalisme secara keseluruhan. Kita akan kembali pada era di mana kedekatan dengan kekuasaan lebih penting daripada kompetensi.

Kasus ini bukan lagi drama kecil di forum MBG, tapi menunjukkan bagaimana negara memperlakukan profesi, bagaimana pejabat memposisikan diri di atas ilmu pengetahuan, dan bagaimana anak-anak Indonesia bisa menjadi korban dari arogansi politik.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak