Menggugat Indeks Kepercayaan Polri di Akhir Tahun, Publik Bertanya: Bagaimana di Lapangan?

M. Reza Sulaiman | Fauzah Hs
Menggugat Indeks Kepercayaan Polri di Akhir Tahun, Publik Bertanya: Bagaimana di Lapangan?
Polisi Republik Indonesia (polri.go.id)

Sobat Yoursay, kita selalu menyaksikan ritual akhir tahun yang serupa. Instansi pemerintah berlomba-lomba menunjukkan prestasi melalui berbagai grafik yang melonjak, indeks yang diklaim meningkat, serta deretan angka statistik yang dirancang agar terdengar sangat meyakinkan.

Pada Selasa, 30 Desember 2025, di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyampaikan bahwa kepercayaan publik terhadap Polri terus menunjukkan tren positif.

Ia merujuk pada survei nasional dan internasional, termasuk skor 89 dalam Law and Order Index The Global Safety Report 2025 yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-19 dari 144 negara. Klaim ini disebut sebagai modal penting bagi Polri untuk terus hadir sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat.

Namun, Sobat Yoursay, publik yang manakah yang dimaksud? Warga bagian mana yang mereka bicarakan?

Di media sosial, responsnya cepat dan keras. Banyak warga justru mempertanyakan klaim tersebut. Ada yang merasa asing dengan narasi kepercayaan tinggi itu. Ada yang tertawa getir. Ada pula yang marah karena pengalaman sehari-hari mereka tidak pernah seindah hasil survei.

Tulisan ini tidak bermaksud mengabaikan peran survei, karena bagaimanapun survei tetap diperlukan sebagai instrumen pengukuran.

Namun, survei bukanlah kebenaran yang tidak bisa diganggu gugat, terlebih jika hanya dimanfaatkan sebagai alat untuk membungkam kritik. Sebab, kepercayaan masyarakat bukan sekadar angka statistik. Kepercayaan terbentuk dari pengalaman nyata warga saat berinteraksi dengan aparat, baik dalam pelayanan di jalan, di kantor polisi, maupun dalam penanganan kasus-kasus yang viral di media sosial.

Sobat Yoursay tentu masih ingat bagaimana sepanjang 2025 isu yang melibatkan aparat kepolisian terus bermunculan. Mulai dari kasus kekerasan berlebihan, penanganan laporan yang berlarut-larut, hingga dugaan tebang pilih dalam penegakan hukum.

Setiap kasus mungkin bisa dijelaskan secara terpisah. Namun, akumulasi dari semua itu membentuk persepsi kolektif. Persepsi kolektif inilah yang sering kali tidak tercermin dalam angka survei.

Di sinilah masalahnya. Ketika pejabat publik terlalu percaya pada indeks dan peringkat, muncul risiko besar untuk mengabaikan suara warga yang tidak masuk kuesioner.

Kita tahu, tidak semua orang memiliki akses atau kesempatan untuk menjadi responden. Tidak semua pengalaman bisa direduksi menjadi pilihan “puas” atau “tidak puas”.

Sering kali, rasa takut, trauma, dan krisis kepercayaan justru bersembunyi di wilayah-wilayah yang luput dari jangkauan survei.

Sobat Yoursay, kepercayaan publik adalah sesuatu yang sangat rapuh. Keruntuhannya sering kali bukan dipicu oleh satu skandal besar, melainkan oleh rentetan kekecewaan kecil yang terus menumpuk.

Mulai dari warga yang laporannya diabaikan, korban yang kehilangan perlindungan, hingga keluarga yang kasus hukumnya lenyap tanpa kepastian. Meski penderitaan mereka tidak tercatat dalam statistik laporan global, dampaknya sangat nyata dan membekas bagi mereka yang menjalaninya.

Sobat Yoursay, klaim mengenai modal besar berupa kepercayaan publik terhadap Polri seharusnya tidak ditelan mentah-mentah. Kepercayaan adalah modal yang bisa bangkrut kapan saja. Merawatnya pun tidak cukup hanya dengan rangkaian kata-kata di konferensi pers akhir tahun.

Polri dituntut untuk lebih jujur mengakui kekurangan yang ada. Harus ada keberanian untuk menjadikan kritik sebagai bahan evaluasi nyata, bukan malah mengabaikannya sebagai suara pinggiran yang dianggap tidak signifikan.

Masalah lain yang perlu dibicarakan, Sobat Yoursay, adalah kecenderungan pejabat menggunakan pengakuan internasional sebagai legitimasi. Peringkat ke-19 dari 144 negara mungkin terdengar membanggakan. Namun, bagi masyarakat yang masih merasa terintimidasi saat berurusan dengan aparat, angka tersebut terasa hampa dan tidak relevan.

Pengakuan dari dunia internasional tidak pernah bisa menjadi jaminan bahwa keadilan telah tegak di level lokal.

Kepercayaan publik juga tidak bisa dipisahkan dari transparansi dan akuntabilitas. Selama proses penegakan hukum masih sering tertutup, dan selama sanksi terhadap oknum bermasalah terasa tidak sepadan, kepercayaan akan selalu bersyarat.

Kritik terhadap kepolisian tidak seharusnya dipandang sebagai serangan semata, karena sering kali kritik bersumber dari harapan akan institusi yang lebih baik.

Masyarakat mendambakan Polri yang hadir sebagai pengayom, bukan sekadar simbol otoritas. Pernyataan ketidakpercayaan publik sejatinya merupakan sinyal kejenuhan. Warga tidak membenci institusinya, tetapi lelah menghadapi tembok ketulian setiap kali menyuarakan kebenaran.

Sobat Yoursay, kepercayaan bukan hadiah yang bisa diumumkan sepihak. Kepercayaan adalah proses panjang yang dibangun dari konsistensi, keadilan, dan keberpihakan pada warga. Tanpa itu, setinggi apa pun indeks yang dirilis, akan selalu ada suara di luar sana yang bertanya dengan nada getir, “warga yang mana?”

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak