Meraba Realita Musisi Independen yang Hidup dari Gigs Berbayar Seadanya

Sekar Anindyah Lamase | Ancilla Vinta Nugraha
Meraba Realita Musisi Independen yang Hidup dari Gigs Berbayar Seadanya
Ilustrasi Band Indie (Unsplash/Natalie Parham)

Duduk di antara penonton talkshow dari sebuah band independen, saya mendengar cerita mereka, bagaimana gigs jadi napas untuk bertahan, sementara tepuk tangan terasa lebih besar dari honor yang diterima. 

Saat itu saya sedang berada di sebuah kafe di tengah kota Yogyakarta, terdengar suatu band indie yang menceritakan perjalanan mereka merintis dari nol. Mereka berbicara tentang mencari panggung di sudut kota dan bertahan dengan acara yang seringkali cuma memberi honor seadanya, dan bahkan kadang hanya menyediakan makan siang sebagai bayaran. 

Melihat cara mereka bercerita, terasa bahwa kisah itu bukan hanya milik satu band saja. Mereka menyebut teman-teman musisi lain juga pernah mengalami hal yang sama. 

Kisah tersebut mengisahkan pengalaman serupa, datang ke venue dengan harapan mendapat panggung layak, tapi pulang hanya membawa uang bensin, atau sekotak makan yang sudah dingin sebelum manggung dimulai. 

Mereka menuturkan bagaimana beberapa rekan musisi lainnya juga harus memainkan dua sampai tiga gigs dalam sehari, bukan karena jadwal sedang padat, tapi karena honor per panggung tak pernah cukup untuk menutup kebutuhan hidup. 

Ada pula yang bercerita tentang panggung kecil di pojok kafe, di mana suara gitar kalah dengan mesin espresso, tapi tetap dijalani karena takut kehilangan kesempatan tampil. Sembari mereka bercerita, saya merasa seperti sedang membaca potret yang lebih besar tentang dunia musik independen.

Realita tersebut seakan menjelaskan bahwa dunia musik independen merupakan dunia yang hidup dari idealisme, tapi bertahan dari kompromi demi kompromi. Mereka ingin membuat musik yang jujur, yang lahir dari isi kepala mereka sendiri, tanpa harus mengikuti selera pasar atau permintaan berbagai pihak. 

Namun, di sisi lain timbul ketimpangan untuk bisa terus berjalan, mereka harus menerima kondisi yang jauh dari kata ideal, melantunkan irama yang tak selalu didukung, menerima bayaran yang tak sepadan, atau mengambil banyak panggung kecil hanya demi menutup kebutuhan harian. 

Lebih jauh, ironi tersebut juga menjelaskan bahwa panggung adalah tempat mereka bermimpi besar, tapi juga ruang tempat mereka belajar menelan realita pelan-pelan. Meski begitu, mata mereka tetap berbinar ketika berbicara soal musik, seolah segala kompromi itu tak mampu memadamkan alasan utama kenapa mereka memulai semuanya.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak