Setiap 25 November, Indonesia memperingati Hari Guru Nasional, sebuah momentum yang selalu dipenuhi ucapan terima kasih, unggahan foto, pemberian hadiah, hingga potongan video apresiasi di media sosial.
Namun di balik euforia perayaan tahunan ini, muncul pertanyaan yang lebih dalam terkait seberapa sering kita benar-benar memikirkan kondisi guru, beban kerjanya, dilema yang harus dihadapi, dan ekspektasi yang kian meningkat dari tahun ke tahun.
Refleksi Hari Guru bukan hanya tentang seremoni dan simbol, tetapi tentang memahami bahwa peran guru dalam sistem pendidikan Indonesia begitu kompleks, terutama ketika dikaitkan dengan polemik hukuman di sekolah yang belakangan viral.
Di sisi lain, ada tuntutan agar guru mampu mengajarkan etika di hadapan beragam karakter siswa. Sentilan menohok lainnya juga mengarah pada realita bahwa guru sering dijuluki pahlawan tanpa tanda jasa tapi tetap dibebani tanggung jawab luar biasa.
Perayaan Hari Guru: Antara Euforia dan Realita Lapangan
Momentum Hari Guru Nasional di berbagai sekolah biasanya diwarnai dengan seremoni khas, seperti murid-murid memberikan bunga, kartu ucapan, atau membuat video kreatif untuk mengungkapkan rasa terima kasih.
Di satu sisi, momen ini menyenangkan dan layak dirayakan. Namun di sisi lain, kehidupan guru sehari-hari jauh lebih berat dari sekadar senyuman di panggung upacara.
Guru menghadapi kurikulum yang berubah, tekanan administratif yang menumpuk, serta harapan orang tua yang semakin tinggi terkait nilai akademik hingga sikap anak.
Bahkan nggak jarang guru harus menjadi pendidik, konselor, motivator, dan kadang figur orang tua kedua bagi murid. Di sinilah refleksi penting dimulai di mana perayaan tidak boleh mengabaikan tantangan yang mereka hadapi setiap hari.
Mengajar Tidak Hanya Transfer Ilmu, Tetapi Transfer Etika
Di tengah perkembangan teknologi dan perubahan perilaku generasi muda, masyarakat kini menuntut agar guru bukan hanya menyampaikan materi, tetapi juga membentuk karakter.
Guru diharapkan mampu menanamkan sopan santun, mengajarkan disiplin, membentuk empati dan toleransi, mengembangkan budaya berpikir kritis, hingga mengarahkan murid agar bijak bermedia sosial.
Ironisnya, ketika guru mencoba menanamkan etika melalui aturan dan disiplin, sering kali muncul konflik antara guru dan sekolah dengan orang tua. Banyak orang tua ingin anaknya berperilaku baik, tetapi keberatan ketika anak ditegur atau dikenai sanksi.
Padahal, pendidikan etika tidak bisa hanya mengandalkan rumah, sekolah, atau masyarakat saja. Tiga lingkungan ini seharusnya saling melengkapi, bukan saling menyalahkan.
Pahlawan Tanpa Tanda Jasa: Gelar yang Membanggakan Sekaligus Mengandung Ironi
Julukan pahlawan tanpa tanda jasa begitu melekat pada guru. Namun semakin lama, gelar ini terasa seperti ironi. Guru memikul tanggung jawab sebesar membentuk masa depan bangsa, tetapi tidak selalu mendapatkan dukungan finansial, fasilitas, dan perlindungan yang memadai.
Banyak guru honorer masih berjuang mempertahankan hidup dengan gaji minim, sementara tuntutan masyarakat terhadap profesionalisme mereka semakin tinggi. Apresiasi moral penting, tetapi kebijakan nyata dan keberpihakan institusional juga dibutuhkan.
Dalam refleksi Hari Guru Nasional, penting untuk kembali bertanya apakah gelar pahlawan cukup jika kenyataannya banyak guru masih kesulitan memperjuangkan kesejahteraannya?
Refleksi Hari Guru: Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Untuk benar-benar menghargai peran guru, apresiasi tidak boleh berhenti di hari seremonial. Sebagai masyarakat, kita juga perlu menyadari pentingnya menghormati otoritas guru, selama mereka bertindak sesuai prosedur dan nilai pendidikan.
Di sisi lain, pemerintah sebagai pemegang konstitusi juga wajib memberikan dukungan pada kesejahteraan guru melalui kebijakan-kebijakan yang diambil.
Bagi orang tua siswa, penting juga untuk memiliki kesadaran membangun komunikasi yang sehat dengan guru dan sekolah. Kolaborasi ini akan mempercepat tujuan pendidikan bisa tercapai, baik transfer ilmu maupun etika.