Ketika banyak orang masih terlelap, perempuan-perempuan pesisir sudah bangun, menyiapkan peralatan sederhana, dan berjalan menuju tepi pantai.
Dalam gelap, mereka menjemput fajar dengan langkah yang membawa beban keluarga, harapan, dan keberanian. Gambaran ini masih jarang mendapat perhatian. Padahal, merekalah tulang punggung ekonomi pesisir yang selama ini luput dari sorotan.
Di banyak cerita pesisir Indonesia, peran perempuan bukan sekadar untuk membantu suami sebagai nelayan. Mereka ikut melaut, menarik jaring, memisahkan ikan, menjemur hasil tangkapan, hingga mengelola penjualan. Mereka bekerja sama kerasnya, bahkan sering lebih lama namun tidak mendapat pengakuan yang setara.
Banyak orang masih menganggap laut sebagai ruang kerja laki-laki, padahal perempuan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari ekosistem dan cerita hidup pesisir.
Di beberapa tempat, perempuan turun ke laut saat perahu kembali. Mereka berjalan ke tengah air, memikul keranjang, mengangkut ikan yang masih basah, sementara suami merapikan perahu.
Dalam satu gerakan, mereka bukan hanya mengangkat hasil laut, tetapi juga mengangkat ekonomi keluarga. Perjuangan yang sunyi inilah yang membuat mereka disebut sebagai “penjemput fajar” karena mereka bekerja lebih dulu dari cahaya matahari.
Namun, beban yang mereka pikul tidak hanya fisik. Mereka harus tetap menjalankan pekerjaan domestik memasak, mengurus anak, membersihkan rumah. Beban ganda ini dianggap wajar dalam budaya pesisir. Padahal, pekerjaan mereka di ranah publik dan domestik sama-sama berat.
Ketika bicara tentang nelayan, wajah perempuan jarang muncul dalam imajinasi publik. Padahal, merekalah penopang utama yang terus menjaga ketahanan keluarga pesisir dari hari ke hari.
Ekonomi Pesisir Bertahan Karena Perempuan
Di balik aktivitas jual beli di pasar ikan, ada tangan-tangan perempuan yang menentukan banyak hal kualitas ikan, harga jual, proses pengolahan, hingga pendistribusian. Mereka yang memastikan hasil tangkapan tidak terbuang. Mereka pula yang menjaga keberlangsungan ekonomi rumah tangga nelayan di tengah fluktuasi cuaca dan harga.
Banyak perempuan pesisir mengembangkan keterampilan memproses hasil laut menjadi produk bernilai tambah seperti ikan asin, kerupuk ikan, abon, hingga olahan rumput laut. Aktivitas ini bukan sekadar sampingan. Sering kali, justru inilah penyelamat ekonomi ketika suami tidak bisa melaut karena cuaca buruk. Perempuan mengambil alih peran ekonomi tanpa banyak bicara, tanpa banyak dihargai, tetapi dampaknya nyata.
Ironisnya, kontribusi mereka sering tidak dicatat dalam statistik. Ketika bicara tentang sektor perikanan, data resmi lebih banyak merekam pekerjaan laki-laki. Perempuan tercatat sebagai ibu rumah tangga, meski kenyataannya mereka bekerja sepanjang hari.
Ketidakterlihatan ini menciptakan ketimpangan yang besar mereka jarang mendapat akses pelatihan, bantuan modal, atau fasilitas yang diperuntukkan bagi pelaku usaha pesisir.
Selain itu, tugas perempuan tidak berhenti di pantai. Mereka harus mengatur keuangan rumah tangga, mengatasi hasil tangkapan yang tidak menentu, dan menyiasati kebutuhan hidup yang kadang melebihi pemasukan.
Di banyak desa, perempuan menjadi perencana ekonomi keluarga, memastikan ada uang sekolah, tabungan kecil, atau cadangan pangan ketika laut sedang tidak bersahabat.
Di sinilah letak ketangguhan mereka. Perempuan pesisir bukan hanya pekerja, tetapi manajer ekonomi yang menjaga keluarga tetap bertahan. Ketika cuaca buruk menghentikan perahu, perempuanlah yang memastikan harapan tidak ikut karam.
Saatnya Mendengarkan Suara Hijau yang Selama Ini Tenggelam
Masalah terbesar perempuan pesisir bukan pada kerasnya laut, melainkan pada kerasnya struktur sosial yang membuat suara mereka jarang terdengar. Program bantuan perikanan sering tidak memasukkan perempuan sebagai penerima utama.
Kebijakan pembangunan pesisir jarang mempertimbangkan beban ganda yang mereka tanggung. Bahkan ketika bicara tentang pendidikan anak pesisir, perempuan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Padahal, mereka berada paling dekat dengan kebutuhan keluarga.
Di banyak tempat, perempuan tidak memiliki akses kepemilikan lahan atau aset, sehingga posisi tawar mereka rendah. Mereka bekerja keras tetapi tidak punya perlindungan ekonomi.
Dalam konteks perubahan iklim, ancaman semakin besar. Naiknya permukaan laut, abrasi, dan penurunan hasil tangkapan membuat beban perempuan semakin berat. Namun, cerita mereka tidak muncul dalam peta risiko bencana atau laporan ekonomi wilayah.
Sudah saatnya kita memperluas definisi nelayan. Nelayan bukan hanya mereka yang memegang kemudi dan jaring di laut. Nelayan adalah siapa saja yang terlibat dalam rantai penghidupan pesisir dan itu termasuk perempuan.
Ketika perempuan diberi ruang untuk bersuara, ekonomi pesisir menjadi lebih kuat. Ketika pengalaman mereka dihargai, kebijakan menjadi lebih adil dan efektif. Ketika peran mereka diakui, kita membangun masa depan pesisir yang lebih sehat dan manusiawi.
Perempuan pesisir tidak meminta pujian atau panggung besar. Mereka hanya ingin didengar, dilibatkan, dan dianggap setara. Karena tanpa mereka, roda kehidupan pesisir Indonesia tidak akan pernah berputar seutuhnya.
Dan mungkin, sudah waktunya kita mengakui satu hal penting: fajar di pesisir selalu datang lebih awal karena ada perempuan-perempuan yang bangkit sebelum matahari untuk menjaga agar kehidupan tetap menyala.