Ada banyak cerita dari pesisir yang tak pernah terekspos media, salah satunya di Kota Rembang yang dikenal dengan kekayaan laut dan wisata baharinya.
Ketika matahari baru naik setinggi telinga, sebagian besar orang mungkin masih menyesap kopi atau bersiap memulai hari dengan bekerja.
Namun bagi petani garam di pesisir Kota Rembang, hari sudah berjalan lama. Mereka telah berada di tambak, menyiapkan para-para, menghaluskan permukaan tanah, dan menunggu matahari bekerja. Garam bagi mereka bukan sekadar komoditas ia adalah hidup, identitas, dan ketangguhan yang ditempa panas serta ketidakpastian.
Kehidupan Pesisir yang Digapai dari Panas dan Kesabaran
Pekerjaan petani garam di Rembang selalu dimulai lebih awal dari kebanyakan pekerjaan lain. Saat embun masih melekat pada rumput-rumput pesisir, mereka sudah memeriksa kanal air laut, memastikan tidak ada kebocoran, dan meratakan tanah yang akan menjadi tempat penguapan.
Ketepatan, kesabaran, dan ketelitian menjadi kunci, sekecil apa pun ketidaksempurnaan, kristal garam bisa berubah kualitas.
Kehidupan mereka sangat bergantung pada matahari. Tidak ada payung dari ketidakpastian cuaca. Musim penghujan bisa merusak seluruh siklus panen, air laut yang terlalu keruh bisa menunda produksi, dan perubahan cuaca yang ekstrem bisa membuat satu musim berlalu tanpa hasil maksimal.
Petani garam hidup berdampingan dengan ritme alam. Mereka menunggu hari tanpa awan, mengamati arah angin, dan merasakan tekstur tanah dengan ujung jari.
Setiap butir garam yang terbentuk bukan hanya hasil penguapan air laut, tetapi juga penguapan tenaga, waktu, dan harapan yang panjang.
Di sela-sela pekerjaan itu, ada keheningan yang hanya dimengerti mereka yang pernah berdiri di tambak garam, suara seret garuk tanah, kilau permukaan air yang memantulkan matahari, dan jejak kaki yang perlahan memanjang di antara petakan tambak.
Tantangan Tak Bertepi: Dari Perubahan Iklim hingga Harga yang Tidak Stabil
Petani garam memang selalu menghadapi dua tekanan besar yakni alam dan pasar. Musim yang semakin sulit diprediksi adalah musuh pertama. Beberapa tahun terakhir, musim hujan dan kemarau tidak lagi seteratur dulu.
Perubahan iklim mengacaukan siklus produksi, membuat petani sering merugi karena masa panen tidak sesuai harapan. Dalam satu musim, mereka bisa kehilangan berbulan-bulan kerja hanya dalam satu malam hujan deras.
Musuh kedua datang dari pasar. Harga garam sering jatuh pada saat panen raya, karena pasokan besar tidak dibarengi pengaturan distribusi yang baik. Bagi petani kecil, harga anjlok berarti kerugian langsung tidak ada ruang untuk menunggu. Tambak harus segera dibersihkan untuk siklus berikutnya, sementara modal kian menipis.
Lebih ironisnya lagi, beberapa tahun lalu Indonesia melakukan impor garam dalam jumlah besar, menyebabkan harga garam lokal semakin rendah. Banyak petani garam kota Rembang merasa tersisihkan di tanah sendiri. Mereka menggarap lahan berbulan-bulan, menerjang panas yang membakar, tetapi dihargai lebih murah dari yang layak.
Masalah lain muncul dari akses alat dan teknologi. Sebagian besar petani masih menggunakan metode tradisional karena tidak memiliki biaya untuk meningkatkan kualitas tambak. Padahal teknologi sederhana seperti geomembran dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas garam. Ketimpangan akses ini membuat petani kecil makin tertinggal dibanding tambak skala besar.
Di tengah berbagai tekanan itu, petani garam tetap bekerja. Tetap datang ke tambak setiap pagi. Tetap berharap cuaca bersahabat. Ketabahan mereka tidak lahir dari pilihan, tetapi dari kenyataan bahwa garam adalah hidup mereka.
Ketangguhan yang Menjaga Garis Pesisir Tetap Kokoh Berdiri
Meskipun menghadapi berbagai tantangan, petani garam Rembang tidak hancur oleh keadaan. Mereka beradaptasi dengan caranya sendiri. Ada kelompok petani yang mulai membentuk koperasi kecil untuk mengatur distribusi dan memperjuangkan harga yang lebih adil. Ada pula yang mencoba diversifikasi pendapatan dengan membuat garam konsumsi kemasan yang lebih bernilai tinggi.
Perempuan pesisir juga mengambil peran besar. Mereka mengolah garam menjadi produk turunan, mengatur pemasaran melalui pasar lokal hingga media sosial, serta menjaga stabilitas ekonomi rumah tangga ketika panen tidak menentu. Di tangan mereka, garam bukan hanya komoditas, tetapi juga peluang.
Generasi muda pesisir Rembang pun semakin aktif. Ada yang mendokumentasikan kehidupan tambak melalui video, memperkenalkan keindahan dan kerja keras petani garam ke publik. Ada yang merintis wisata edukasi tambak, mengajak masyarakat mengenal proses pembuatan garam dari dekat mengubah tambak garam yang dulu dianggap panas dan sepi kini menjadi ruang belajar dan apresiasi.
Inilah bentuk ketangguhan yang sering tidak terlihat. Ketangguhan yang tidak dibuat-buat, tidak dramatik, tetapi berlangsung setiap hari. Ketangguhan yang tidak tercatat dalam laporan resmi, tetapi nyata dalam setiap petakan tambak yang kembali terisi air laut meski berkali-kali gagal.
Pada akhirnya, cerita tentang petani garam pesisir Rembang bukan hanya soal bagaimana garam dibuat. Ini adalah cerita manusia-manusia yang hidup dalam persimpangan antara panas dan hujan, antara harapan dan kenyataan, antara keluhan dan keberanian. Mereka menjaga tradisi yang telah diwariskan turun-temurun, meski dunia terus berubah dengan cepat.
Garam yang kita nikmati hari ini, yang menambah cita rasa pada makanan dan yang kita anggap sepele adalah hasil dari ketabahan yang tidak pernah dituturkan.
Ketika kita membicarakan keberlanjutan pesisir, kita harus ingat satu hal yaitu tambak garam bukan hanya ruang produksi, tetapi ruang hidup. Dan petani garam bukan hanya pekerja, tetapi penjaga ketahanan pangan dan budaya pesisir yang selama ini terlupakan.