Learned Helplessness: Saat Korban Bullying Sulit Melawan, Stop Menghakimi!

Lintang Siltya Utami | e. kusuma .n
Learned Helplessness: Saat Korban Bullying Sulit Melawan, Stop Menghakimi!
ilustrasi korban bullying (Pexels/Mikhail Nilov)

Ketika mendengar kasus bullying, sering kali muncul komentar bernada menghakimi yang pada korban, seperti “Kenapa nggak melawan aja?”, “Lapor dong, jangan diam”, “Harusnya berani speak up”, dan sejenisnya.

Padahal, kenyataan tidak sesederhana itu. Banyak korban justru diam, menghindar, atau bahkan tetap bertahan dalam lingkungan yang menyakitkan bukan karena mereka lemah, tapi karena ada faktor psikologis berupa perasaan tidak berdaya yang kuat.

Fenomena ini dikenal dengan istilah learned helplessness dan sering muncul tanpa disadari, termasuk oleh korban. Saat lingkungan bisa memahami situasi ini, mendukung korban bullying agar tidak merasa sendirian akan menjadi prioritas utama.

Apa Itu Learned Helplessness?

Learned helplessness adalah kondisi ketika seseorang merasa tidak berdaya menghadapi situasi negatif, meskipun sebenarnya ia punya kesempatan atau kemampuan untuk keluar dari situasi tersebut.

Rasa “tidak berdaya” ini muncul karena pengalaman berulang yang membuat korban yakin bahwa usaha apa pun tidak akan mengubah keadaan. Korban seolah belajar untuk menyerah saat berulang kali mengalami luka yang tidak bisa mereka hindari.

Dalam konteks bullying, konsep ini sangat relevan. Korban yang diserang secara terus-menerus akhirnya mulai percaya bahwa melawan hanya akan membuatnya tambah disakiti, terlebih saat suaranya tidak didengar hingga tidak ada yang bisa menolong.

Keyakinan inilah yang membuat mereka tampak pasrah, bahkan saat ada dukungan di sekelilingnya. Korban bullying terlanjur menyerah dan merasa tidak bisa melakukan apa pun lagi untuk keluar dari situasi perundungan.

Mengapa Korban Bullying Lebih Rentan Mengalami Learned Helplessness?

Bullying bukan hanya tentang satu kali kejadian. Biasanya, ada pola tekanan yang berulang dan berkepanjangan yang mulai melemahkan mentalnya.

Ketika korban mengalami penghinaan, diasingkan, ancaman, atau kekerasan berulang kali, otaknya mulai menciptakan “peta” bahwa situasi tersebut tidak bisa diubah.

1. Tidak Ada Dukungan dari Lingkungan

Sering kali korban bullying yang melapor justru dibilang lebay atau disuruh mengabaikan. Lingkungan seolah menormalisasi “budaya” bullying karena tidak selalu menyerang fisik. Pengalaman tidak dianggap ini membuat mereka malas mencoba lagi.

2. Ketidakmampuan Menghindari Situasi

Dalam banyak kasus, bullying terjadi di sekolah, kantor, atau rumah, yang notabene menjadi ruang yang harus ditempati setiap hari. Ketika korban tidak punya pilihan untuk kabur, rasa tak berdaya ini semakin meningkat.

3. Pelaku Memiliki Kekuasaan

Atasan, senior, atau teman populer sering dianggap tak tersentuh saat menjadi pelaku bullying. Korban pun merasa perlawanan hanya akan sia-sia atau malah memperburuk keadaan.

4. Trauma Masa Lalu

Pengalaman buruk di masa kecil atau hubungan keluarga yang tidak suportif dapat membuat korban lebih cepat merasa tidak berdaya saat menghadapi tekanan baru. Trauma ini terbawa kembali saat terjebak perundungan di lingkungan berbeda.

Dampak Jangka Panjang yang Tidak Bisa Dianggap Sepele

Learned helplessness bukan sekadar kondisi sementara. Jika tidak diatasi, dampaknya bisa bertahan hingga bertahun-tahun dan mempengaruhi aspek kehidupan lain.

Korban akan kesulitan bersuara di tempat kerja, takut mencoba hal baru, rendah diri yang kronis, hubungan yang tidak sehat karena selalu mengalah, risiko depresi dan kecemasan tinggi, hingga ketergantungan pada orang lain.

Bahkan, beberapa orang yang pernah menjadi korban bullying bisa membawa pola pikir “tidak berdaya” ini hingga dewasa tanpa menyadari asal-usulnya. Situasi ini menjadi semakin berbahaya karena korban akan merasa “pantas” diperlakukan buruk.

Cara Membantu Korban yang Mengalami Learned Helplessness

Untuk membantu mereka, langkahnya tidak bisa instan. Korban perlu diajak membangun kembali kepercayaannya terhadap diri sendiri dan lingkungan melalui beberapa langkah berikut ini.

1. Validasi Perasaan Korban

Langkah pertama membantu korban bullying yang mengalami learned helplessness yaitu dengan memvalidasi perasannya lebih dulu. Alih-alih mempertanyakan usahanya, akui situasinya berat dan dia tidak salah.

2. Berikan Ruang Aman untuk Bercerita

Korban butuh tempat yang tidak menghakimi, ruang aman yang bisa dipercaya untuk menyampaikan semua cerita. Cukup dengarkan tanpa menghakimi, hal ini sudah sangat membantu korban.

3. Ajak Korban Memahami Bahwa Ia Punya Kendali

Tidak harus langsung melawan pelaku, membantu korban bisa dimulai dari langkah kecil, seperti berani berkata “tidak” atau mencari bantuan pihak ketiga.

4. Dorong untuk Mencari Bantuan Profesional

Saat kondisi psikis tidak bisa ditangani sendiri, mendorong korban bullying untuk mencari bantuan profesional bisa jadi langkah terbaik selanjutnya. Datang ke psikolog akan membantu korban membangun kembali rasa percaya diri dan mengenali pola pikir tidak berdaya yang terbentuk.

5. Bangun Lingkungan yang Benar-benar Mendukung

Baik sekolah, kantor, maupun keluarga perlu punya sistem yang tegas terhadap bullying. Di sinilah pentingnya kampanye antibullying dan ketersediaan safe space agar korban bisa lebih mudah pulih karena tahu tidak sendirian.

Kampanye Antibullying: Saatnya Berhenti Menghakimi Korban

Komentar seperti “kenapa tidak melawan?” hanya akan memperburuk keadaan. Bullying adalah pengalaman traumatis, dan learned helplessness membuat korban merasa terjebak.

Bukan karena lemah, tetapi karena terlalu banyak “kekalahan” yang membuat mereka berhenti berharap. Dengan memahami konsep ini, kita bisa berhenti menyalahkan korban dan mulai menciptakan ruang yang lebih aman, di mana pun.

Satu hal yang perlu diingat, kadang, langkah paling kecil yang kita berikan pada korban bisa menjadi titik balik yang mampu menyelamatkan hidupnya.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak