Tidak selamanya kata “maaf” bisa menjadi obat untuk sebuah luka. Meski terdengar sederhana, ucapan itu tidak serta-merta membuat hubungan kembali normal atau suasana langsung mencair.
Orang-orang di sekitar sering kali berharap semuanya pulih seperti sediakala, seolah masalah selesai begitu saja. Namun bagi korban perundungan, kenyataannya jauh lebih kompleks.
Justru, kata “maaf” kadang terasa seperti beban tambahan. Luka yang mereka simpan tidak hilang hanya karena pelaku mengucapkannya. Banyak korban membutuhkan waktu panjang untuk kembali merasa aman, dan sering kali proses itu berjalan bukan karena mereka benar-benar siap, melainkan karena lingkungan menuntut mereka untuk cepat memaafkan. Padahal hati manusia tidak bekerja secepat itu.
Kenapa Kita Selalu Berharap “Maaf” Bisa Menyelesaikan Segalanya?
Sejak kecil, kita tumbuh dengan anggapan bahwa kata maaf adalah sebuah kata ajaib yang bisa meredakan masalah. Setiap kali ada yang tersinggung atau bertengkar, solusinya selalu sama. Ucapkan maaf, lalu semuanya dianggap selesai. Kita jadi terbiasa melihat maaf sebagai titik akhir dari sebuah konflik.
Tapi ketika bicara soal perundungan, situasinya bisa menjadi jauh lebih rumit. Pada masalah ini, ada pihak yang merasa dirinya lebih kuat dari yang lain, munculnya rasa takut yang berkepanjangan, dan pengalaman traumatis yang menempel kuat di ingatan.
Dalam penelitian, banyak korban bullying menunjukkan tekanan emosional yang kuat. Mulai dari hilangnya rasa percaya diri, merasa direndahkan, hingga kecenderungan menarik diri dari lingkungan sosial. Luka-luka ini tidak serta-merta hilang hanya karena pelaku berkata “maaf”.
Luka dari Perundungan Tidak Bisa Sembuh Hanya dengan Satu Kata
Penelitian tentang proses memaafkan pada korban bullying menunjukkan bahwa kemampuan seseorang untuk memberi maaf tergantung oleh banyak hal: seberapa dalam trauma yang dialami, berapa lama perundungan itu terjadi, dan apakah kondisi mentalnya sudah cukup stabil untuk menghadapi luka itu lagi.
Banyak korban membutuhkan waktu panjang untuk memahami apa yang mereka rasakan, belajar menerima, lalu perlahan mengurai perasaan sakit yang menumpuk dalam hati sebelum mereka bisa mempertimbangkan untuk memaafkan.
Beberapa penelitian lain menemukan bahwa korban sering kali kesulitan memaafkan karena rasa percaya dirinya menurun, atau karena muncul ketakutan untuk kembali berinteraksi dengan orang lain. Dalam kondisi seperti ini, wajar bila maaf terasa terlalu berat untuk diberikan.
Merujuk pada penjelasan KlikDokter, memaksa korban untuk memaafkan hanya akan membuat mereka merasa semakin tertekan. Tidak apa-apa bila seseorang belum siap atau memilih untuk tidak memaafkan. Itu bukan tanda dendam, melainkan bagian dari perjalanan penyembuhan yang membutuhkan waktu, ruang, dan keberanian untuk kembali pulih dengan cara mereka sendiri.
Apa Sebenarnya Makna “Maaf” dalam Kasus Perundungan?
Kata “Maaf” yang sungguh-sungguh selalu mengandung tiga hal: kesadaran atas kesalahan, keberanian untuk bertanggung jawab, dan komitmen untuk berubah. Tanpa itu semua, kata ini hanya menjadi kata pendek yang diucapkan agar masalah terlihat selesai. Namun belum tentu bisa memperbaiki luka yang telah terlanjur menggores hati.
Bagi korban, keputusan untuk memaafkan atau tidak adalah bentuk kendali atas diri mereka sendiri. Itu adalah hak mereka untuk memutuskan kapan hati mereka siap untuk menghadapi kembali ingatan yang terasa menyakitkan tersebut.
Penelitian menunjukkan bahwa proses memaafkan baru mungkin terjadi ketika korban telah merasa dirinya aman, didukung, dan tidak lagi berada dalam posisi terancam. Baik itu secara emosional maupun sosial. Mereka membutuhkan lebih dari sekadar ucapan. Mereka membutuhkan perubahan perilaku yang nyata, pengakuan jujur atas kesalahan yang pernah dilakukan pelaku, dan tentu saja usaha pelaku yang menunjukkan empati yang sungguh-sungguh.
Dalam beberapa studi psikologi, korban jauh lebih mampu membuka pintu maaf ketika pelaku benar-benar menunjukkan tanggung jawab. Bukan sekadar mengucapkan kata maaf yang terdengar seperti formalitas.
Penutup: Maaf Adalah Awal, Bukan Akhir
Ucapan “maaf” tetap memiliki arti tersendiri. Kata ini bisa menjadi langkah awal yang membuka jalan untuk menuju proses pemulihan. Namun perjalanan setelahnya jauh lebih menentukan. Mulai dari perubahan sikap pelaku, kesadaran untuk memperbaiki diri, dukungan dari lingkungan, hingga keberanian korban untuk memulihkan dirinya perlahan.
Oleh karena itu, benar bahwa maaf itu penting. Tapi ia tidak selalu mampu menyembuhkan seluruh luka, dan itu bukan sesuatu yang salah. Tidak semua proses perlu diselesaikan dengan cepat. Tidak semua masalah harus berakhir dengan maaf yang langsung diterima. Yang paling penting adalah ruang bagi korban untuk merasa aman, didukung, dan diakui apa pun pilihan mereka.
Referensi:
Asy Syarifah, F., & Indriana, Y. (2018). Pemaafan pada korban perundungan. Jurnal Empati, 7(2), 18–27.
Maharani, A. (2020). Heboh kasus Jimin dan Mina eks AOA: Perlukah memaafkan pelaku perundungan? KlikDokter. Diakses 4 Desember 2025, dari https://www.klikdokter.com/psikologi/kesehatan-mental/heboh-kasus-jimin-dan-mina-eks-aoa-perlukah-memaafkan-pelaku-perundungan?srsltid=AfmBOorTq4eaqdwiJDHM4k5QMYKkckf4kyCK84FHkJJ0FTe8P8GTfTXK
Utami, A. C., Ulfiah, & Tahrir. (2019). Gambaran memaafkan (forgiveness) pada korban bullying. Jurnal Penelitian Psikologi, 10(2)