Bagaimana Budaya Membentuk Cara Kita Berpikir dan Merasa

M. Reza Sulaiman
Bagaimana Budaya Membentuk Cara Kita Berpikir dan Merasa
Ilustrasi linguistik, budaya, dan bahasa. (Shutterstock)

Manusia tidak hanya dilahirkan dengan otak yang kompleks, tetapi juga tertanam dalam budaya tertentu sejak lahir. Budaya bukan hanya sekadar adat atau tradisi, melainkan juga membentuk cara kita berpikir, merasakan, memandang diri sendiri, dan berinteraksi dengan dunia.

Dari bahasa yang kita gunakan hingga nilai moral yang kita pegang, pengaruh budaya sangatlah mendalam dalam membentuk pikiran dan perilaku manusia.

Budaya dan Pikiran

Budaya mencakup norma, bahasa, kepercayaan, nilai, simbol, dan praktik yang diwariskan secara sosial dari generasi ke generasi. Sementara itu, pikiran manusia mencakup proses kognitif seperti persepsi, memori, emosi, dan penalaran.

Penelitian psikologi budaya menunjukkan bahwa budaya dan pikiran saling memengaruhi dan tidak dapat dipisahkan. Pikiran membantu menciptakan budaya, dan budaya memberikan kerangka makna bagi pikiran itu sendiri.

Individualisme vs. Kolektivisme

Salah satu perbedaan budaya yang paling jelas terlihat adalah dalam konsep diri. Di budaya Barat, seperti Amerika dan Eropa, nilai yang menonjol adalah individualisme, yang berfokus pada kebebasan, pencapaian pribadi, dan ekspresi diri. Sementara itu, di banyak budaya Asia, Afrika, atau Amerika Latin, nilai kolektivisme lebih dominan, di mana identitas seseorang dianggap sebagai bagian dari kelompok, seperti keluarga dan komunitas.

Perbedaan ini memengaruhi bagaimana seseorang dapat berpikir, merasa, dan merespons situasi sosial. Individu yang dibesarkan dalam budaya individualistis, misalnya, cenderung fokus pada tujuan pribadi dan merasakan emosi seperti bangga lebih kuat ketika mereka berhasil memenuhi ambisi mereka.

Di sisi lain, mereka yang tumbuh dalam budaya kolektivistis lebih memprioritaskan keharmonisan kelompok dan merasakan emosi seperti empati atau rasa malu yang lebih intens ketika hubungan sosial mereka terganggu.

Bahasa sebagai Alat yang Memengaruhi Cara Berpikir

Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga membentuk cara kita melihat dunia. Hipotesis mengenai relativitas linguistik (linguistic relativity) menunjukkan bahwa bahasa yang kita kuasai dapat membentuk cara kita mengorganisasi pengalaman dan memahami realitas sekitar.

Misalnya, beberapa bahasa menggunakan arah absolut seperti utara-selatan ketimbang kiri-kanan, dan biasanya para pengguna bahasa semacam ini memiliki kemampuan orientasi ruang yang berbeda dibandingkan penutur bahasa lain.

Lebih jauh lagi, beberapa budaya memiliki kata-kata yang tidak memiliki padanan langsung dalam bahasa lain, seperti “saudade” (rasa rindu yang mendalam) dalam bahasa Portugis atau “amae” (ketergantungan emosional penuh kepercayaan) dalam bahasa Jepang.

Hal tersebut menunjukkan bahwa bahasa mengandung pengalaman emosional yang khas dalam budaya tersebut.

Emosi dan Moralitas yang Dipengaruhi oleh Nilai Budaya

Budaya tidak hanya memengaruhi cara berpikir, tetapi juga cara kita mengekspresikan emosi dan menilai baik-buruknya suatu perilaku. Di banyak budaya Barat, ekspresi emosi dianggap sebagai bentuk autentisitas, sedangkan di budaya lain, emosi sering dikendalikan demi menjaga keharmonisan sosial.

Moralitas pun dibentuk oleh nilai budaya, misalnya fokus pada hak individu di Barat versus prioritas pada hubungan sosial di budaya kolektivistis.

Pada intinya, pikiran manusia bukan hanya hasil dari fungsi otak semata, melainkan sebuah produk yang terbentuk melalui interaksi kompleks antara biologi dan budaya.

Budaya memberikan makna yang lebih dalam pada proses mental kita, dari cara kita melihat diri hingga cara kita memahami dunia di sekitar kita.

(Flovian Aiko)

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak